Asal Ajakan Tipitaka (Kitab Suci Agama Budha)

ASal Usul Kitab Tipitaka ,
Beberapa ahad setelah Sang Buddha wafat (483 SM) seorang Bhikkhu renta yng tak disiplin berjulukan Subhaddha menyampaikan : "Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, kini kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang menciptakan hidup kita menderita, tetapi kini kita sanggup berbuat apa pun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi" (Vinaya Pitaka II,284). Maha Kassapa Thera setelah mendengar kata-kata itu menetapkan bagi atau sanggup juga dikatakan untuk mengadakan Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha.
Yang dengannya proteksi Raja Ajatasattu dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul di Gua Sattapanni akrab Rajagaha bagi atau sanggup juga dikatakan untuk mengumpulkan anutan Sang Buddha yng sudah dibabarkan selama ini serta menyusunnya secara sistematis. Yng Ariya Ananda, siswa terdekat Sang Buddha, mendapat kehormatan bagi atau sanggup juga dikatakan untuk mengulang kembali khotbah-khotbah Sang Buddha serta Yng Ariya Upali mengulang Vinaya (peraturan-peraturan). Dalam Pesamuan Agung Pertama ini beliau dikumpulkan seluruh anutan yng kini dikenal menjdai Kitab Suci Tipitaka ([Pali). Orang-orang yng mengikuti anutan Sang Buddha semisal yang telah di sebutkan dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali) disebut Pemeliharaan Kemurnian Ajaran sebagaimana sabda Sang Buddha yng yang terakhir: "Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi dirimu".
Pada mulanya Tipitaka (Pali) ini diwariskan secara verbal dari satu generasi ke genarasi selanjutnya. Satu kala lantas terdapat sekelompok Bhikkhu yng berniat hendak merubah Vinaya. Menghadapi bisnis ini, para Bhikkhu yng ingin mempertahankan Dhamma - Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama menyelenggarakan Pesamuan Agung Kedua yang dengannya proteksi Raja Kalasoka di Vesali, di mana isi Kitab Suci Tipitaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat. Kelompok Bhikkhu yng memegang teguh kemurnian Dhamma - Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada, yng kelak disebut Theravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu yng ingin merubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yng kelak bermetamorfosis mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelah Sang Buddha Gotama wafat, Agama Buddha terbagi menjadi 2 mazhab besar Theravãda serta Mahayana.
Pesamuan Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna) pada kala ketiga setelah Sang Buddha wafat (249 SM) yang dengannya pemerintahan di bawah Kaisar Asoka Wardhana. Kaisar ini memeluk Agama Buddha serta yang dengannya pengaruhnya tidak sedikit membantu penyebarkan Dhamma ke suluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan (penyelundup anutan gelap) masuk ke dalam Sangha dangan maksud meyebarkan ajaran-ajaran orang-orang sendiri bagi atau sanggup juga dikatakan untuk meyesatkan umat. Bagi atau sanggup juga dikatakan untuk mengakhiri keadaan ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuan Agung serta membersihkan badan Sangha dari penyelundup-penyelundup dan merencanakan pengiriman para Duta Dhamma ke negeri-negeri lain.
Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini 100 orang Arahat mengulang kembali pembacaan Kitab Suci Tipitaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuaan ini beliau Agama Buddha sanggup tersebar ke suluruh penjuru dunia serta terhindar lenyap dari bumi asalnya.
Pesamuan Agung keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan Raja Vattagamani Abhaya pada permulaan kala keenam setelah Sang Buddha wafat (83 SM). Pada peluang itu Kitab Suci Tipitaka (Pali) dituliskan bagi atau sanggup juga dikatakan untuk pertama kalinya. Tujuan penulisan ini merupakan biar seluruh orang mengetahui kemurnian Dhamma Vinaya.
Selanjutnya Pesamuan Agung Kelima diadakan di Mandalay (Burma) pada permulaan kala 25 setelah Sang Buddha wafat (1871) yang dengannya proteksi Raja Mindon. Fenomena penting pada waktu itu merupakan Kitab Suci Titpitaka (Pali) diprasastikan pada 727 buah lempengan marmer (batu pualam) serta diletakkan di bukit Mandalay.
Persamuan Agung keenam diadakan di Rangoon pada hari Visakha Puja tahun Buddhis 2498 serta berakhir pada tahun Buddhis 2500 (tahun Masehi 1956). Sejak era itu penterjemahan Kitab Suci Tipitaka (Pali) di lakukan ke dalam beberapa bahasa Barat.
Menjdai pelengkap pengetahuan sanggup dikemukakan gotong royong pada kala pertama setelah Masehi, Raja Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yng tak dihadiri oleh kelompok Theravãda. Bertitik tolak pada Pesamuaan ini, Agama Buddha mazhab Mahayana berkembang di India serta lantas meyebar ke negeri Tibet serta Tiongkok. Pada Pasamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci Buddhis dalam Bahasa Sansekerta yang dengannya tidak sedikit pelengkap sutra-sutra gres yng tak terdapat dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali).
Yang dengannya demikian, Agama Buddha mazhab Theravãda dalam pertumbuhannya semenjak pertama sampai dikala ini, salah satunya di Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan serta pembabaran Dhamma - Vinaya pada kemurnian Kitab suci tipitaka (Pali) mengakibatkan yang dengannya demikian tak ada perbedaan dalam hal anutan antara Theravãda di Indonesia yang dengannya Theravada di Thailand, Srilanka, Burma ataupun di negara-negara lain.
Hingga kala ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah menjadi 18 sub mazhab, antara lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, Theravãda serta sebagainya. Pada cendekia balig cukup akal ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu sudah lenyap. Yng masih berkembang sampai dikala ini hanyalah mazhab Theravãda (ajaran para sesepuh). Yang dengannya demikian nama Sthaviravada tak ada lagi. Mazhab Theravãda ini beliau yng kini dianut oleh negara-negara Srilanka, Burma, Thailand, serta lantas berkembang di Indonesia serta negara-negara lain.
Sidang Agung I (Konsili I)
Sidang Agung I diadakan pada tahun 543 SM (3 bulan setelah bulan Mei) serta berlangsung selama 2 bulan. Sidang ini dipimpin oleh YA. Maha Kassapa serta dihadiri oleh 500 orang Bhikkhu yng semuanya Arahat. Sidang diadakan di Goa Satapani di kota Rajagaha. Sponsor sidang agung ini merupakan Raja Ajatasatu.
Tujuan dari sidang pertama ini merupakan bagi atau sanggup juga dikatakan untuk menghimpun anutan Sang Buddha yng diajarkan kepada orang yng berlainan, di daerah yng berlainan serta dalam waktu yng berlainan. Mengulang Dhamma serta Vinaya biar anutan Sang Buddha tetap murni, kuat, melebihi ajaran-ajaran lain-lainnya. Y.A. Upali mengulang Vinaya serta Y.A. Ananda mengulang Dhamma.
Kesimpulan dari sidang pertama ini merupakan Sangha tak akan menetapkan hal-hal mana yng butuh dihapus serta hal-hal mana yng Perlu dilaksanakan, pula tak akan menambah apa-apa yng sudah ada. Mengadili Y.A. Ananda. Mengucilkan Chana. Agama Buddha masih utuh.
Sidang Agung II (Konsili II)
Sidang Agung II diadakan pada tahun 443 SM (100 tahun setelah yng I) serta berlangsung selama 4 bulan. Dipimpin oleh YA. Revata serta dibantu oleh YA. Yasa dan dihadiri oleh 700 Bhikkhu. Sidang diadakan di Vesali. Sponsor sidang agung ini merupakan Raja Kalasoka.
Sidang kedua ini diadakan karena sekelompok Bhikkhu Sangha (Mahasanghika) menghendaki bagi atau sanggup juga dikatakan untuk memperlunak Vinaya yng Amat keras (akan tetapi gagal).
Dalam sidang kedua ini kesalahan-kesalahan Bhikkhu-Bhikkhu dari suku Vajjis yng melangggar pacittiya dibicarakan, diakui gotong royong orang-orang sudah melanggar Vinaya serta 700 Bhikkhu yng hadir menyatakan setuju. Pengulangan Vinaya serta Dhamma, yng dikenal yang dengannya nama "Satta Sati" ataupun "Yasathera Sanghiti" karena Bhikkhu Yasa dianggap berjasa dalam bidang pemurnian Vinaya.
Sidang Agung III (Konsili III)
Diadakan pada tahun +/- 313 SM (230 tahun setelah sidang I). Dipimpin oleh Y.A. Tissa Moggaliputta. Sidang diadakan di Pataliputta. Sponsor Sidang Agung ini merupakan Raja Asoka dari Suku Mauriya.
Tujuan sidang ini merupakan bagi atau sanggup juga dikatakan untuk menertibkan perbedaan pendapat yng mengaktifkan perpecahan Sangha. Memeriksa serta menyempurnakan Kitab Suci Pali (memurnikan Ajaran Sang Buddha). Raja Asoka meminta biar para Bhikkhu mengadakan upacara Uposatha setiap bulan, biar Bhikkhu Sangha higienis dari oknum-oknum yng bermaksud tak baik.
Sidang ini menghasilkan keputusan bagi atau sanggup juga dikatakan untuk menghukum Bhikkhu-Bhikkhu selebor. Ajaran Abhidhamma diulang tersendiri oleh Y.A. Maha Kassapa, mengakibatkan lengkaplah pengertian Tipitaka (Vinaya, Sutta, serta Abhidhamma). Kaprikornus pengertian Tipitaka mulai lengkap (timbul) pada Konsili III. Y.A. Tissa menentukan 10.000 orang Bhikkhu Sangha yng benar-benar sudah memahami Ajaran Sang Buddha bagi atau sanggup juga dikatakan untuk menghimpun Ajaran yang telah di sebutkan menjadi Tipitaka serta perhimpunan yang telah di sebutkan berlangsung selama 9 bulan.
Pada era itu Sangha telah terpecah dua, yakni : Theravãda (Sthaviravada) serta Mahasanghika. Sementara itu ada mahir sejarah yng menyampaikan gotong royong pada Konsili III ini bukan ialah konsili umum, akan tetapi cuma ialah suatu konsili yng diadakan oleh Sthaviravada.
Sidang Agung IV (Konsili IV)
Diadakan pada masa pemerintahan Raja Vattagamani Abhaya (tahun 101 - 77 SM). Dipimpin oleh Y.A. [Rakhita Mahathera]] serta dihadiri oleh +/- 500 Bhikkhu. Sidang diadakan di Alu Vihara (Aloka Vihara) di Desa Matale.
Tujuan dari sidang keempat ini merupakan mencari penyelesaian karena melihat terjadinya kemungkinan-kemungkinan yng mengancam Ajaran-ajaran serta kebudayaan-kebudayaan Agama Buddha oleh pihak-pihak lain.
Keputusan sidang ini merupakan biar sanggup Tipitaka disempurnakan komentar serta penjelasannya dan menuliskan Tipitaka serta komentarnya di atas daun lontar.
Konsili ini diakui menjdai konsili yng ke IV oleh sekte Theravãda.
Diambil dari WIkipedia Indonesia

Sumber Rujukan Dan Gambar :

0 Response to "Asal Ajakan Tipitaka (Kitab Suci Agama Budha)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel