Hukum Memuaskan Diri Dalam Islam
Blog Khusus Doa - Sekarang ini, dalam bidang medis, memuaskan diri banyak dianjurkan untuk para pemuda-pemudi yang belum berumah tangga. Jika pun tidak dianjurkan, tapi dibolehkan. Alasannya, untuk kesehatan. Ada saja dalih-dalih yang dipergunakan. Mulai dari mencegah kanker, menjaga imunitas tubuh, hingga melepaskan kehilangan nalar s, dan sebagainya. Tapi sebetulnya bagaimana hukumnya dalam Islam?
Memuaskan diri(dalam bahasa Arab disebut dengan Istimna) ialah suatu perbuatan merangsang diri sendiri dengan tujuan mencapai kepuasan tanpa pasangan yang sah. Dalam Islam berdasarkan lebih banyak didominasi para fuqaha memuaskan diri yaitu suatu perbuatan yang dipandang sebagai dosa besar. Imam Ashafie dan Imam Malik, mengharamkan perbuatan ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur’an:
Penjelasan Imam As-Shafie dan Imam Malik diperkuat pula oleh riwayat memberikankut: “Di hari alam abadi Tuhan tidak akan melihat golongan-golongan ini lantas terus berfirman: ‘Masuklah kalian ke dalam api neraka gotong royong mereka yang (berhak) memasukinya. Golongan-golongan tersebut ialah :
Mengapa memuaskan diri diharamkan? Sebab ini akan hanya mendorong pelakunya untuk melaksanakan relasi yang selanjutnya. Nah pintu inilah yang ditutup oleh Islam. Menurut Shah Waliallah Dahlawi kegiatan ini juga berberesiko pada aspek negatif priskologis si pelaku, perasaan malu, kotor dan berdosa menghinggapi. Sehingga ia tidak berani untuk mendekati pria atau perempuan yang ia sukai. Malu akan kelakuannya ini juga merupakan fitrah manusia.
Melakukan hal itu secara sering juga banyak membawa mudarat kepada kesehatan si pelaku, tubuh lemah, anggota tubuh kaku dan bergetar, perasaan berdebar-debar dan pikiran tidak menentu. Belum lagi hal ini akan mempengaruhi produksi banyak sekali organ reproduksi yang normal. Berkurangnya sel telur dan sperma hingga tidak bergairah. Melazimkan diri dengan onani telah menciptakan pelaku menjauhi penilaian-penilaian moral serta budpekerti tinggi yang menjadi unsur utama kemuliaan umat Islam.
Namun, sebagaian sangat menguasai fiqh beropini bahwa memuaskan diri dibolehkan jikalau seseorang menghadapi keadaan yang gawat alasannya luapan syahwat dan ia berkeyakinan bahwa dengan melaksanakan hal ini, ia akan meredakan syahwatnya dan sanggup pula menghalangi dirinya dari terjerumus ke dalam sesuatu zina. Setelah tentunya ia melaksanakan banyak sekali tindakan preventif menyerupai puasa, dzikir dan shalat, (QS Yusuf 12, ayat 32 dan 33).
Membolehkannya para ulama bukanlah bertujuan menghalalkan perbuatan tersebut tetapi didasarkan kepada kaidah permintaan fiqh yang menyatakan: “Dibolehkan melaksanakan ancaman yang ludang kecepeh ringan biar sanggup menghindari ancaman yang ludang kecepeh berat.” Di sini perlu diperhatikan bahwa, itu diperbolehkan dalam suasana yang amat penting. Bukan dilakukan setiap hari dengan ransangan pula. Pertama dibolehkan atas dasar perberat sebelahan maslahat agama. Sedangkan yang kedua diharamkan atas dasar kontradiksi dengan perintah dan penilaian-penilaian agama.
Dan barang siapa yang berusaha untuk menjauhkan onani-masturbari atas dasar taqwa dan kepercayaan kepada Allah Subhanahu waTa’ala, pasti Allah akan mencukupinya. Insya-Allah hidayahNya akan membimbing seseorang itu menjauhi perbuatan nista tersebut dan akan digantiNya dengan anugerah kelazatan jiwa dan kepuasan batin yang mustahil tergambarkan.
Sederhananya, kalau hati dan nurani kita merasa tidak nyaman dengan apa yang kita lakukan, itulah tandanya bahwa ada sesuatu yang salah dengan yang sedang kita perbuat. Wallohu alam bishawwab.
Memuaskan diri(dalam bahasa Arab disebut dengan Istimna) ialah suatu perbuatan merangsang diri sendiri dengan tujuan mencapai kepuasan tanpa pasangan yang sah. Dalam Islam berdasarkan lebih banyak didominasi para fuqaha memuaskan diri yaitu suatu perbuatan yang dipandang sebagai dosa besar. Imam Ashafie dan Imam Malik, mengharamkan perbuatan ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur’an:
“Dan mereka yang menjaga kehormatannya (dalam relasi ranjang) kecuali kepada istri atau hamba sahayanya, maka sebetulnya mereka tidaklah tercela. Maka barangsiapa yang menginginkan selain yang demikian, maka mereka yaitu orang-orang yang melampaui batas,” (Surat Al-Mu’minun 23-5,6,7).
Penjelasan Imam As-Shafie dan Imam Malik diperkuat pula oleh riwayat memberikankut: “Di hari alam abadi Tuhan tidak akan melihat golongan-golongan ini lantas terus berfirman: ‘Masuklah kalian ke dalam api neraka gotong royong mereka yang (berhak) memasukinya. Golongan-golongan tersebut ialah :
- Orang-orang pacaran/berumah tangga sesama jenis,
- Orang yang bersetubuh dengan hewan dan makhluk hidup,
- Orang yang mengawini istri dan juga anak perempuannya pada waktu yang sama
- Orang yang kerap memuaskan diri, kecuali jikalau mereka tiruana bertaubat dan memperbetulkan diri sendiri, maka tidak lagi akan dihukum,
(Maksud riwayat yang disandarkan kepada Nabi Sallallahu-alaihi-wasallam, dikemuakan oleh Imam azd-Dzahabi dalam Al-Ka’bar, 59, tanpa mengemukakan status kekuatannya atau sumber periwayatannya).
Mengapa memuaskan diri diharamkan? Sebab ini akan hanya mendorong pelakunya untuk melaksanakan relasi yang selanjutnya. Nah pintu inilah yang ditutup oleh Islam. Menurut Shah Waliallah Dahlawi kegiatan ini juga berberesiko pada aspek negatif priskologis si pelaku, perasaan malu, kotor dan berdosa menghinggapi. Sehingga ia tidak berani untuk mendekati pria atau perempuan yang ia sukai. Malu akan kelakuannya ini juga merupakan fitrah manusia.
Melakukan hal itu secara sering juga banyak membawa mudarat kepada kesehatan si pelaku, tubuh lemah, anggota tubuh kaku dan bergetar, perasaan berdebar-debar dan pikiran tidak menentu. Belum lagi hal ini akan mempengaruhi produksi banyak sekali organ reproduksi yang normal. Berkurangnya sel telur dan sperma hingga tidak bergairah. Melazimkan diri dengan onani telah menciptakan pelaku menjauhi penilaian-penilaian moral serta budpekerti tinggi yang menjadi unsur utama kemuliaan umat Islam.
Namun, sebagaian sangat menguasai fiqh beropini bahwa memuaskan diri dibolehkan jikalau seseorang menghadapi keadaan yang gawat alasannya luapan syahwat dan ia berkeyakinan bahwa dengan melaksanakan hal ini, ia akan meredakan syahwatnya dan sanggup pula menghalangi dirinya dari terjerumus ke dalam sesuatu zina. Setelah tentunya ia melaksanakan banyak sekali tindakan preventif menyerupai puasa, dzikir dan shalat, (QS Yusuf 12, ayat 32 dan 33).
Membolehkannya para ulama bukanlah bertujuan menghalalkan perbuatan tersebut tetapi didasarkan kepada kaidah permintaan fiqh yang menyatakan: “Dibolehkan melaksanakan ancaman yang ludang kecepeh ringan biar sanggup menghindari ancaman yang ludang kecepeh berat.” Di sini perlu diperhatikan bahwa, itu diperbolehkan dalam suasana yang amat penting. Bukan dilakukan setiap hari dengan ransangan pula. Pertama dibolehkan atas dasar perberat sebelahan maslahat agama. Sedangkan yang kedua diharamkan atas dasar kontradiksi dengan perintah dan penilaian-penilaian agama.
Dan barang siapa yang berusaha untuk menjauhkan onani-masturbari atas dasar taqwa dan kepercayaan kepada Allah Subhanahu waTa’ala, pasti Allah akan mencukupinya. Insya-Allah hidayahNya akan membimbing seseorang itu menjauhi perbuatan nista tersebut dan akan digantiNya dengan anugerah kelazatan jiwa dan kepuasan batin yang mustahil tergambarkan.
Sederhananya, kalau hati dan nurani kita merasa tidak nyaman dengan apa yang kita lakukan, itulah tandanya bahwa ada sesuatu yang salah dengan yang sedang kita perbuat. Wallohu alam bishawwab.
0 Response to "Hukum Memuaskan Diri Dalam Islam"
Post a Comment