Anak-Anak Menyerupai Ini, Tolong Dicetak Sebanyak-Banyaknya
Karakter, etika-moral jauh lebih penting dari prestasi akademik. |
Aksi Ika ketika itu menciptakan saya dan wali kelasnya melongo. Bagaimana sanggup anak sekecil Ika sanggup berfikir dan berbuat menyerupai itu?
Tanpa diketahui oleh guru, belakang layar Ika mengkordinir teman-temannya yang mendapatkan tabungan. Meminta mereka menyisihkan tabungan yang diterima untuk diserahkan kepada salah seorang sahabat kelasnya yang kurang beruntung. Tidak mempunyai tabungan. Seorang anak yang kurang terurus, yatim, selalu berpakaian lusuh, jarang membawa belanja ke sekolah. Saat itu saya dan wali kelasnya sangat terharu.
Masih di tahun yang sama. Tapi pada masa libur sesudah kenaikan kelas.
Hari itu saya melintas di jalan menuju ke sekolah. Ada urusan di kota kabupaten. Rumah saya sendiri jauh dari sekolah, 60 Km. Sampai di sebuah jembatan, dua orang tampak sedang sibuk membersihkan jalan dari sampah dan tumpukan pasir. Bekas luapan air parit. Yang menyerupai ini memang biasa di Lombok Utara. Jalan-jalan tertimbun tanah/pasir terutama ketika demam isu hujan. Orang-orang membersihkan jalan memakai sekop atau pacul. Kemudian meminta imbalan kepada pengendara yang lewat. Kadang hanya akal-akalan bekerja ketika pengendara lewat saja. Tumpukan tanahnya hingga beberapa hari ke depanpun tetap begitu-begitu saja.
Tapi ada yang tidak biasa dilakukan dua orang yang saya lihat. Mereka tidak berusaha mencegat pengendara yang lewat. Tidak meminta imbalan apa-apa. Sekedar melirikpun tidak. Mereka fokus bekerja.
Saya lebih surprise lagi ketika mengetahui salah seorang pembersih jalan itu ialah siswa saya sendiri. Ratno. Setelah masuk sekolah, saya cari Ratno di kelasnya. Saya tanya seputar aksinya membersihkan jalan. Ternyata ia membersihkan jalan berdua dengan kakaknya. Alasannya? Tidak ingin ada pengendara yang jatuh. Berhubung jembatan itu tidak mengecewakan dalam, jalannya pun turunan, tanjakan berliku. Aksi Ratno saya bahas ketika semua siswa berkumpul di program Imtaq. Menjadi contoh.
Selanjutnya seorang siswa berbadan tegap, kekar dan paling besar di kelasnya. Sering berkelahi. Namanya Amat. Suatu hari seorang wali murid menghadap ke kepala sekolah. Menjelaskan bahwa anaknya sudah tiga hari tidak masuk sekolah. Matanya sakit. Bengkak dan menghitam. Dihantam oleh sahabat kelasnya sendiri. Ternyata si Amat pelakunya.
Kami sangat terkejut dan malu. Bagaimana sanggup kami pihak sekolah tidak mengetahui bencana menyerupai itu? Wali kelasnya pun tidak. Siswa cidera serius bahkan sudah 3 hari tidak masuk. Kepala sekolahpun meminta maaf dengan lapang dada. Berterima kasih kepada wali murid yang sangat sabar itu. Biarpun anaknya mengalami hal seburuk itu. Dia masih sanggup menahan diri, menghadap ke sekolah dengan baik dan sopan. Amat menerima penanganan khusus.
Beberapa bulan kemudian. Si Amat menciptakan saya benar-benar terharu. Dia yang dulu jawara berubah drastis. Saat kelasnya ribut, dialah yang meminta teman-temannya tenang. Baik ketika ada guru atau pelajaran kosong. Saat teman-temannya berkelahi, dialah yang mendamaikan. Diapun tampak lebih tenang dan kalem.
Ika, Ratno, dan Amat ialah beberapa siswa luar biasa ketika saya masih mengajar di sekolah lama, SDN 1 Bayan. Sekarang saya sudah pindah ke sekolah lain. SDN 3 Sambik Elen. Ternyata di sana juga saya bertemu belum dewasa luar biasa.
Saat pawai karnaval tujuh belasan beberapa ahad yang lalu. Seorang anak melonjak bangga menemukan sebuah kolam sampah di pinggir jalan. Namanya Wahyu. Tegopoh-gopoh menuju kolam sampah dan membuang sebuah botol air mineral bekas minum. Rupanya sudah usang lama ia ingin membuang botol itu. Tapi tidak menemukan kolam sampah sepanjang rute karnaval. Membuang di pinggir jalan ia tidak mau. Padahal pada kontingen yang lain, jangankan siswa, guru pun tampak hirau membuang begitu saja gelas plastik air mineral bekas mereka minum. Sedangkan Wahyu masih anak kelas 2 SD.
Dan hari Jumat kemarin. Yulia Yasmin, siswi kelas tiga. Tiba-tiba berteriak lantang. Bertanya ke teman-temannya yang sedang bergerombol belanja. Bertanya siapa yang merasa kehilangan uang. Yulia telah menemukan selembar uang 5 ribuan. Uang itupun diserahkan Yulia ke pemiliknya.
Sebuah Paradoks
Jika kini kita menemukan masyarakat yang egois, hanya mementingkan dirinya sendiri. Maka kita butuh generasi menyerupai Ika dan Ratno untuk berubah. Jika kini kita melihat negeri kita bertabur sampah, di darat, pinggir jalan, sungai, bahari bahkan puncak gunung yang sangat tinggi menyerupai Rinjani, maka kita butuh sebanyak-banyaknya generasi menyerupai Wahyu. Jika hari ini kita miris melihat agresi bullying, maka kita butuh generasi menyerupai Amat. Jika hari ini kita hingga tidak sanggup berkata apa-apa melihat maraknya sikap korup, maka kita butuh generasi jujur menyerupai Yulia.
Tapi sayang. Kenyataan berkata lain. Kita sudah mengetahui menyerupai apa keadaan bangsa kita. Kita pun sudah mengetahui generasi menyerupai apa yang kita butuhkan untuk berubah. Generasi yang mempunyai huruf menyerupai siswa-siswa di atas. Tapi kita tidak pernah serius mencetak generasi yang diharapkan itu. Kita terlalu fokus pada prestasi akademik. Orang renta berlomba-lomba secepat mungkin menciptakan anaknya menguasai Calistung, bahkan ketika usia PAUD. Bila perlu ketika masih Balita, ketika sudah mulai sanggup bicara.
Guru-guru menganak emaskan siswa-siswa yang prestasi akademiknya mentereng. Siswa yang kurang mempunyai prestasi akademik seolah sebagai komplemen saja.
Kita semua mendewa-dewakan prestasi akademik. Seolah itulah segalanya. Padahal di negara maju yang terjadi sebaliknya.
Saya teringat dongeng seorang praktisi pendidikan, pemilik Sekolah Mahakarya Gangga. Ayah Edy.
Saat berdiskusi dengan seorang guru dari Australia. Guru itu berkata. Kami tidak khawatir kalau belum dewasa SD kami tidak akil Matematika, kami jauh lebih khawatir kalau mereka tidak akil mengantri.
Ketika ditanya mengapa sanggup begitu? Guru Australia itu menjawab: Jauh lebih mudah melatih belum dewasa untuk sanggup Matematika, butuh beberapa bulan saja. Sementara melatih mereka sanggup mengantri jauh lebih sulit. Bertahun-tahun belum tentu berhasil. Dan tidak semua anak kelak akan berprofesi memakai ilmu Matematika yang rumit, kecuali tambah, kurang, kali, bagi. Sebagian mereka akan menjadi penari, atlet, penyanyi, musisi, pelukis, dan sebagainya. Hanya sebagian kecil dari murid-murid dalam satu kelas yang kelak akan menentukan profesi di bidang yang bekerjasama dengan Matematika. Sementara semua murid dalam satu kelas ini niscaya akan membutuhkan budpekerti moral dan pelajaran berharga dari mengantri sepanjang hidup mereka kelak.
Demikianlah kenyataannya. Bagaimana karakter, etika-moral jauh lebih penting dari prestasi akademik. Kitapun mengetahuinya. Menyadarinya. Tapi entah mengapa budaya kita yang terlalu mendewa-dewakan prestasi akademik sulit berubah.
Pemerintah sendiri tidak habis-habisnya berusaha mengubah budaya ini. Kurikulum diganti. Ujian Nasional bukan penentu kelulusan. Pengintegrasian pendidikan karakter, melarang memperlihatkan PR Matematika tapi diganti dengan PR yang menumbuhkan akal pekerti menyerupai menolong sesama. Sampai beberapa hari yang kemudian Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres No. 87 Th. 2017 wacana penguatan pendidikan karakter.
Tapi dunia pendidikan dengan yang kuasa prestasi akademiknya tampaknya tak akan bergeming. Tetap menyerupai biasa. Kokoh-padu tak tergoyahkan. Seperti sebelum-sebelumnya.
Maka. Lupakanlah mimpi bahwa kita akan melihat Indonesia bertaburan orang-orang menyerupai Ika, Ratno, Amat, Wahyu, atau Yulia. Maka Indonesia akan tetap terlihat menyerupai ini. 10, 50, 100 tahun yang akan datangpun mungkin akan tetap menyerupai ini. Bertabur sampah, kemiskinan, orang-orang egois, penjahat, dan koruptor. *LBS*
*) Ditulis oleh Lukman bin Saleh. Guru SDN 3 Sambik Elen-Lombok Utara.
0 Response to "Anak-Anak Menyerupai Ini, Tolong Dicetak Sebanyak-Banyaknya"
Post a Comment