Gerakan Literasi Sekolah (Gls)

Gerakan Literasi Sekolah atau GLS yakni mengakibatkan sekolah sebagai organisasi pembelajara Gerakan Literasi Sekolah (GLS)
Gerakan Literasi Sekolah atau GLS yakni mengakibatkan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang menyenangkan.
Dengan bergulirnya periode reformasi pada tahun 1998, semua orang merasa memilki kebebasan untuk berkreasi, berinovasi, maupun berekspresi. Karena memang kendala ataupun penghalang untuk berkreatifitas, berinovasi maupun berekspresi hampir tidak ada. Lihat saja hari ini pertolongan dari segala asapek terutama teknologi memudahkan orang untuk menggali potensi mereka masing – masing. Kebebasan yang terus menerus terjadi tersebut rupanya tidak selalu memunculkan efek yang kasatmata pula. Hal ini terlihat di kalangan pelajar bahwa kebebasan yang tanpa kontrol memperlihatkan tanda-tanda atau akhir yang kurang baik. Terutama bisa kita lihat pada contoh dan sikap kaum pandai ketika ini.

Pada sisi lain kebebasan mengekspresikan diri bagi kaum pandai tersebut juga mendatangkan efek yang tidak sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku dilingkungannya. Sekarang ini mereka bebas menulis, bebas berbicara, bahkan bebas memfitnah, bebas mencaci maki. Kebebasan tersebut tidak terkontrol tujuannya. Baik itu kepada yang tua, sama besar ataupun lebih kecil dari mereka. Kebebasan yang terus menerus menciptakan kita semua kecolongan, sehingga kembali masyarakat luas menilai bahwa forum pendidikan belum berhasil dalam upaya memanusiakan anak manusia.
Keberhasilan forum pendidikan memang lebih banyak diukur dari seberapa baik sikap dan tingkah laris yang di perlihatkan oleh para lulusannya. Ketika seorang pelajar kurang berkenan dimata masyarakat, maka yang menjadi sasarannya yakni sekolah. Namun kalau prilakunya sesuai dengan harapan masyarakat maka sekolah tidak begitu di apresiasi.

Selaras dengan fenomena diatas bahwa PISA 2009 juga menyimpulkan bahwa praktik pendidikan yang dilaksanakan disekolah belum bisa memperlihatkan fungsi sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang berupaya mengakibatkan semua warganya terampil membaca untuk mendukung mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat. Oleh lantaran itu Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan sebuah terobosan untuk semua jenjang pendidikan. Terobosan tersebut yakni Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Gerakan Literasi Sekolah atau GLS yakni sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan untuk mengakibatkan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang menyenangkan bagi akseptor didik dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat.

Secara umum tujuan GLS tersebut yakni menumbuhkembangkan kebijaksanaan pekerti akseptor didik melalui pembudayaan ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan dalam Gerakan Literasi Sekolah supaya mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat. Artinya terobosan GLS ini ingin memperlihatkan efek yang kasatmata terhadap tingkah laris seluruh warga sekolah.

Sedangkan tujuan khususnya yakni 1) menumbuhkembangkan budaya literasi membaca dan menulis siswa di sekolah, 2) meningkatkan kapasitas warga dan lingkungan sekolah supaya literat, 3) mengakibatkan sekolah sebagai taman berguru yang menyenangkan dan ramah anak supaya warga sekolah bisa mengelola pengetahuan, 4) menjaga keberlanjutan pembelajaran dengan menghadirkan bermacam-macam buku bacaan dan mewadahi banyak sekali taktik membaca.

Merujuk pada kedua tujuan diatas bahwa Gerakan Literasi Sekolah (GLS) harus dilaksanakan secara kolaboratif oleh seluruh komponen yang ada di sekolah maupun masyarakat diluar sekolah. Artinya GLS harus bisa menggerakan seluruh komponen internal maupun eksternal sekolah. Seiring kemajuan teknologi gerakan literasi ini tidak sekedar acara membaca dan menulis saja, namun meliputi kepada kemampuan seseorang mengadopsi informasi dari banyak sekali sumber baik audio, video, cetak ataupun elektronik.

Clay (2001) dan Ferguson (www.bibliotech.us/pdfs/InfoLit.pdf) menjabarkan bahwa komponen literasi informasi terdiri atas literasi dini, literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, literasi teknologi, dan literasi visual. Dalam konteks Indonesia, literasi dini diharapkan sebagai dasar pemerolehan berliterasi tahap selanjutnya. Komponen literasi tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Literasi Dini [Early Literacy (Clay, 2001)], yaitu kemampuan untuk menyimak, memahami bahasa lisan, dan berkomunikasi melalui gambar dan verbal yang dibuat oleh pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan sosialnya di rumah. Pengalaman akseptor didik dalam berkomunikasi dengan bahasa ibu menjadi fondasi perkembangan literasi dasar.

2. Literasi Dasar (Basic Literacy), yaitu kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan menghitung (counting) berkaitan dengan kemampuan analisis untuk memperhitungkan (calculating), mempersepsikan informasi (perceiving), mengomunikasikan, serta menggambarkan informasi (drawing) menurut pemahaman dan pengambilan kesimpulan pribadi.

3. Literasi Perpustakaan (Library Literacy), antara lain, memperlihatkan pemahaman cara membedakan bacaan fiksi dan nonfiksi, memanfaatkan koleksi tumpuan dan periodikal, memahami Dewey Decimal System sebagai pembagian terstruktur mengenai pengetahuan yang memudahkan dalam memakai perpustakaan, memahami penggunaan katalog dan pengindeksan, sampai mempunyai pengetahuan dalam memahami informasi ketika sedang menuntaskan sebuah tulisan, penelitian, pekerjaan, atau mengatasi masalah.

4. Literasi Media (Media Literacy), yaitu kemampuan untuk mengetahui banyak sekali bentuk media yang berbeda, menyerupai media cetak, media elektronik (media radio, media televisi), media digital (media internet), dan memahami tujuan penggunaannya.

5. Literasi Teknologi (Technology Literacy), yaitu kemampuan memahami kelengkapan yang mengikuti teknologi menyerupai peranti keras (hardware), peranti lunak (software), serta susila dan etiket dalam memanfaatkan teknologi.

6. Literasi Visual (Visual Literacy), yakni pemahaman tingkat lanjut antara literasi media dan literasi teknologi, yang membuatkan kemampuan dan kebutuhan berguru dengan memanfaatkan bahan visual dan audiovisual secara kritis dan bermartabat. Tafsir terhadap bahan visual yang tidak terbendung, baik dalam bentuk cetak, auditori, maupun digital (perpaduan ketiganya disebut teks multimodal), perlu dikelola dengan baik. Bagaimanapun di dalamnya banyak manipulasi dan hiburan yang benarbenar perlu disaring menurut susila dan kepatutan.

Dalam rangka mengimplementasikan Gerakan Literasi Sekolah (GLS), maka sekolah bisa mengukur dan merencanakan perihal acara literasi menyerupai apa yang bisa diterapkan. Hal ini tentu tergantung kepada sarana dan prasarana pendukung disebuah sekolah. Sementara itu seluruh warga sekolah harus punya janji dan keteladanan terhadap seluruh akseptor didik perihal upaya mengakibatkan sekolah sebagai lingkungan yang literat sehingga prilaku warga sekolah bermartabat.

*) Ditulis oleh RUSPEL AIGA. Guru di SMPN 3 X Koto Diatas, Kab. Solok Sumbar

0 Response to "Gerakan Literasi Sekolah (Gls)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel