Musyawarah Guru (Mgmp) Bukan Wadah Reunian

Sejauh ini MGMP masih dianggap belum mempunyai nilai tambah terhadap pengembangan kompeten Musyawarah Guru (MGMP) Bukan Wadah Reunian
Sejauh ini MGMP masih dianggap belum mempunyai nilai tambah terhadap pengembangan kompetensi guru.
Segala tuntutan yang dibebankan terhadap guru ketika ini barangkali sesuatu yang masuk akal alasannya yaitu memang pemerintah dan masyarakat secara menyeluruh ingin bahwa guru benar- benar meiliki jati diri dan keteladanan yang berpengaruh dimata murid-muridnya. Empat kompetensi yang menjadi penguasaan wajib bagi setiap guru merupakan hal yang harus tumbuh dan berkembang secara seimbang.

Empat kompetensi yang dimaksud yaitu pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Ketika semuanya sudah tumbuh dan berkembang secara seimbang maka hal-hal negatif perihal guru tidak lagi muncul kepermukaan.

Baca juga: Peningkatan Kompetensi Guru Melalui KKG

Pengembangan dan pelatihan kompetensi sosial menuntut guru biar berada pada wadah kegiatan kolektif ataupun tergabung dalam komunitas guru yang ada ditingkat sekolah, kecamatan, kabupaten, provinsi ataupun berskala nasional. Wujud konkret dari lembaga kolektif tersebut yaitu menunjukkan pengajaran secara berdikari kepada guru bagaimana bersosialisasi dengan sobat sejawat ataupun dengan sobat seprofesi.

Bentuk wadah kolektif guru yang berada disekitar guru yaitu Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Sejauh ini keberadaan MGMP itu sendiri masih dianggap belum mempunyai nilai tambah terhadap pengembangan empat kompetensi guru diatas. Hal ini tergambar bahwa masih rendahnya capaian nilai UKG secara nasional.

Anggapan terhadap MGMP bahwa guru-guru mengikuti kegiatan MGMP hanya sebagai ajang reunian terhadap sesama alumni LPTK tertentu. Sebuah ungkapan yang menyiratkan makna betapa MGMP sebagai daerah kumpul-kumpul yang jauh dari ingar-bingar dan dinamika untuk mendiskusikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan dunia pembelajaran. Itulah citra wadah profesi guru semacam MGMP.

Guru selalu dituding sebagai pemicu merosotnya mutu SDM ketika negeri ini mengalami kemunduran intelektual, sosial dan moral di segenap lapis dan lini kehidupan. Guru dinilai tidak menjalankan fungsinya sebagai tokoh perubah paradigma sehingga gagal melahirkan bawah umur bangsa yang cerdas, terampil, dan bermoral.

Analogi bahwa guru itu telah mati alasannya yaitu memang sengaja dimatikan biar guru tidak mempunyai kemandirian dalam menyiapkan lahan, memberi pupuk, dan menyemai benih-benih yang sedang tumbuh. Tugas guru dalam penyiapan lahan, pemberian pupuk, dan penyemai senantiasa akan tergantung pada pihak yang menunjukkan komando atau instruksi, Darmaningtyas (2001).

Mestinya dari analogi tersebut semua guru harus berbenah alasannya yaitu profesi guru sebnarnya bukanlah tenaga pengajar yang berkutat dikelas saja, tetapi bagaimana guru bisa menjadi inpirator bagi akseptor didiknya disetiap langkahnya. Guru harus bisa membangun iklim perubahan baik secara intelektual ataupun spritual. Tahun ketahun pemerintah melalui kementrian pendidikan dan kebudayaan sudah bakir dan bijaksana bahwa perberdayaan komunitas guru terus diupayakan.

Hal ini terbukti dengan adanya derma stimulan yang dikucurkan terhadap setiap kelompok kerja diseluruh Indonesia. Memang keterbatasan dana yang dimilki, belum menjadi hal yang merata bagi stiap kelompok kerja yang ada diseluruh pelosok tanah air. Meskipun begitu bagi kelompok kerja atau MGMP yang memperoleh stimulan dari pemerintah harus pertanda potret yang berbeda baik terhadap cara fikir guru ataupun terhadap proses pembelajaran akseptor didik di sekolah.

Melalui kegiatan kolektif tersebut guru dtuntut bisa berbagi kemampuan para siswanya melalui pemahaman, keaktifan, pembelajaran sesuai kemajuan zaman dengan berbagi keterampilan hidup biar siswa mempunyai sikap kemandirian, sikap adaptif, koperatif, dan kompetitif dalam menghadapi tantangan dan tuntutan kehidupan sehari-hari. Agar kegiatan kolektif guru ibarat MGMP menjadi sebuah wadah yang dihargai dan dicintai anggotanya maka setiap guru harus punya kesdaran bahwa MGMP itu miliknya, bukan milik profesi lain ibarat dokter, pilot, apoteker, dll.

Disamping itu pengurus MGMP mestinya bisa menjawab kebutuhan yang diminta oleh masing-masing guru. Program harus disusun secara logis dan memnag dibutuhkan oleh guru itu sendiri. Sejauh ini kegiatan kerja yang disusun masih berputar pada tatanan perangkat pembelajaran. Idealnya kegiatan kerja disusun secara bersama menurut survei atau need assesment. Saat ini, kegiatan kegiatan MGMP sudah semestinya difokuskan kepada pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB). Intinya Program PKB tersebut nantinya akan menjawab sesuatu yang dibutuhkan oleh guru.

Artinya guru akseptor MGMP sanggup memilih dan menyusun pengembangan diri secara berkelanjutan. Apalagi ketika guru tidak bisa berbagi diri secara berkelanjutan maka guru tersebut akan terus berada pada level yang sama dari sisi kepangkatan. Oleh alasannya yaitu itu terlihat bahwa MGMP merupakan solusi alasannya yaitu guru bisa melaksanakan apa saja terkait penemuan pembelajaran, pengembangan komptensi, dan pengembangan diri secara berkelanjutan.

Perlu diingat bahwa pemberdayaan MGMP harus dimaknai sebagai sebuah proses yang terus hidup, tumbuh, dan berkembang sepanjang waktu. Melalui pemberdayaan yang berkelanjutan, MGMP diperlukan bisa berperan sebagai perantara dalam pengembangan dan peningkatan kompetensi guru.

Keberhasilan MGMP dalam memberdayakan diri akan sangat dipengaruhi oleh etos kerja segenap pengurus, anggota, dan guru mata pelajaran sejenis dalam membangun visi, misi, tujuan yang terang sehingga MGMP bisa mentransformasikan dirinya secara utuh bersama pihak terkait untuk membangun pendidikan yang berbudaya dan berkarakter.

*) Ditulis oleh RUSPEL AIGA, Guru SMPN 3 X Koto Diatas, Kab. Solok, Sumbar

0 Response to "Musyawarah Guru (Mgmp) Bukan Wadah Reunian"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel