Pak Jokowi, Jangan Salah Berikan Belum Dewasa Itu Obat
Saya harap Perpres itu nanti berupa resep obat yang sempurna biar belum dewasa tidak diperlakukan lagi ibarat robot. |
Seorang pria nampak bangkit di tengah ruang sidang. Memeluk sebuah toples berisi air dan ikan kecil.
Dia membuka kalimatnya:
Albert Einstein pernah berkata, setiap orang yaitu jenius. Tetapi jikalau anda menilai kemampuan ikan dalam memanjat pohon, seumur hidup ikan itu akan berfikir dirinya bodoh.
Laki-laki itu melanjutkan, tidak hanya menyuruh ikan memanjat pohon, tetapi juga menciptakan mereka turun dari pohon dan berlari 10 mil.
Jawab saya, sekolah! (Karena yang hadir di ruang sidang merupakan perwakilan dari sekolah-sekolah yang dituntut pria tersebut). Apakah anda besar hati dengan yang anda lakukan? Mengubah jutaan orang menjadi robot! Apakah bagi anda itu menyenangkan?
Sadarkah anda berapa banyak anak yang digambarkan cerita ikan tersebut? Berenang mengalir di kelas tanpa menemukan talenta mereka, mereka fikir dirinya bodoh, mempercayai bahwa mereka tidak berguna.
Saya mengundang sekolah untuk bangkit di sini dan menuntutnya sebagai pembunuh kreatifitas, pembunuh kepribadian, dan sebagai pelaku kejahatan intlektual. (Seorang pengacara yang mewakili sekolah bangkit emosi mendengar kata-kata pria itu).
Ia (sekolah) yaitu sebuah institusi kuno yang digunakan lebih usang dari masa pakainya.
Selanjutnya pria itu meminta izin kepada hakim untuk memperlihatkan bukti, bahwa apa yang dituduhkannya kepada sekoalah benar. Hakim mengizinkan.
Mulai dari gambar sebuah smartphone masa kini, dan dibaliknya ada gambar telpon 150 tahun yang lalu. Yang tentu penampakannya sangat jauh berbeda.
Selanjutnya yaitu gambar kendaraan beroda empat masa kini, dan dibaliknya ada gambar kendaraan beroda empat 150 tahun yang lalu. Lagi-lagi memperlihatkan perbedaan yang sangat jauh.
Gambar berikutnya berupa kelas masa kini, seorang guru yang bangkit di depan sekitar 20 siswa. Dilanjutkan dengan gambar kelas 150 tahun yang lalu. Persis sama, tidak ada perbedaan. Pengunjung sidang terperangah, dan sebagian menganga hingga menutup mulut.
Artinya, selama lebih dari satu abad, tidak ada yang berubah. Kata pria itu melanjutkan. Dan anda mengklaim mempersiapkan murid untuk masa depan?
Dan masih banyak lagi kata-kata pria itu yang menohok dunia pendidikan. Bagaimana sekolah mendudukkan siswa dengan rapi, mengangkat tangan jikalau ingin bicara, dan 8 jam sehari mendikte cara mereka berfikir. Memaksa mereka berkompetisi menerima nilai A. Sebuah abjad yang sama untuk menggambarkan kualitas sebuah produk, ibarat kualitas daging di supermarket. Membuat jutaan anak ibarat robot, ibarat zombie.
Kalau seorang dokter memperlihatkan resep yang sama untuk semua pasiennya risikonya akan tragis, banyak orang yang tambah parah. Hal yang sama akan terjadi pada sekolah, itu yaitu malpraktek pendidikan.
Seorang guru bangkit di depan 20 siswa yang mempunyai sifat berbeda, kebutuhan berbeda, talenta yang berbeda, impian yang berbeda. Tapi guru mengajarkan hal yang sama dengan cara yang sama.
Sekolah hanya terobsesi dengan ujian terstandar. Menjawab pertanyaan multiple choice (pilihan ganda). Yang penemunya saja, Fredrick J. Kelly meminta kita untuk meninggalkan sistem ujian terstandar. Terlalu sederhana untuk menggambarkan keragaman siswa.
Kita harus mengoptimalkan semangat setiap murid, menyentuh hati yang ada di setiap kelas. Matematika itu penting, tapi tidak lebih penting dari seni atau menari. Memberikan kesempatan yang sama bagi setiap bakat.
Demikianlah kata pria itu menggugat dunia pendidikan. Jika anda ingin melihat vidionya, ketik saja “Menggugat Sistem Sekolah” di Youtube.
Sampai Kesempatan yang ke-100
Sebenarnya aliran pria itu tidak abnormal di dunia pendidikan. Dari pemerintah satu ke pemerintah lainnya. Berbagai menteri pendidikan. Hampir semuanya pernah menyuarakan aliran tersebut. Berbagai kebijakan telah dibuat.
Lalu apa yang salah? Mengapa pendidikan dan risikonya masih ibarat ini? Siswa sekedar menjadi objek. Siswa dengan kompetensi dan kepribadian yang jauh dari harapan.
Jawabannya tidak lain yaitu problem guru. Anies Baswedan dikala menjadi menteri juga menyampaikan problem kita yaitu guru. Dan mengeluarkan kebijakan Guru Pembelajar. Tapi saya rasa kurang revolusioner. Termasuk menteri pendidikan yang sekarang, Muhadjir Effendy. Sepakat, pokok problem pendidikan di tanah air yaitu guru.
Sayangnya, meski pemerintah telah mendiagnosa dengan sempurna problem pendidikan kita. Tapi pemerintah justru memperlihatkan resep obat yang keliru. Kurikulum digonta-ganti, jam sekolah ingin diubah menjadi full day school (FDS).
Saya tidak menyampaikan mengganti kurikulkum itu tidak bermanfaat, saya tidak menyampaikan kalau FDS itu buruk. Tapi selama mindset dan sikap guru yang menjadi ujung tombak dalam menjalankannya tidak berubah, percuma.
Triliunan dana untuk mengubah kurikulum, mulai dari sosialisasi, Bimtek, pelatihan, workshop, pengadaan buku dan sebagainya. Puluhan triliun dana untuk mewujudkan FDS, mulai dari uang makan guru hingga uang makan siswa. Mengapa dana yang besar itu tidak difokuskan untuk membenahi kualitas guru? Bukankah masalahnya ada pada guru?
Rendahnya kualitas guru memang alasannya yaitu kesalahan semenjak awal. Profesi guru yang sangat vital direkrut asal-asalan.
Seandainya semenjak awal perekrutan guru dilakukan dengan serius. Saya rasa potret pendidikan tanah air tidak seburam kini ini.
Taruhlah sekolah guru itu dibentuk menjadi sekolah ikatan dinas. Seperti IPDN, STAN atau lainnya. Tentu itu akan menarik generasi-generasi terbaik bangsa ini untuk menjadi guru. Kemudian di sekolah itu calon guru benar-benar ditempa untuk menjadi pendidik yang baik dan berkualitas. Bukan ibarat sekolah guru yang sekarang, calon guru kuliah seadanya, hanya untuk menerima nilai lulus.
Finlandia, negara yang selama 1 dasawarsa menempati puncak pendidikan terbaik dunia. Di sana hanya 10% lulusan terbaik dari sebuah universitas yang berhak mendaftar untuk dilatih menjadi guru. Menjadikan guru profesi yang sangat dibanggakan. Di negara kita, hampir tidak ada yang bercita-cita menjadi guru. Jika belum dewasa ditanya keinginan mereka, mereka menjawab, dokter, pilot, polisi atau tentara.
Pemerintah tidak ada biaya? Dunia pendidikan sudah gawat darurat. Tidak boleh alasannya biaya. Atau kalau memang tidak ada biaya mengapa bukan sekolah ikatan dinas yang sudah ada diganti menjadi sekolah guru? Seperti IPDN, STAN dan lainnya. Kalau hanya ingin mencetak calon birokrat, atau andal akuntansi, pemerintah tinggal rekrut. Mau sarjana ibarat apa, lulusan mana, Amerika? Jepang? Eropa? Sekarang semua sudah ada.
Bagaimana dengan yang sudah terlanjur menjadi guru dengan pendidikan seadanya?
Ini tidak cukup hanya diberikan pelatihan-pelatihan. Seminar-seminar. Atau banyak sekali macam ujian. Harus ada tindakan faktual untuk merubah mindset dan prilaku guru.
Taruhlah misalnya, guru-guru dikirim magang ke negara-negara yang pendidikannya maju dan berhasil. Guru ditugaskan magang setahun di Jepang, Singapura, Finlandia, Korsel, Hongkong, dan sebagainya. Di sana guru bisa melihat eksklusif bagaimana pendidikan itu seharusnya. Bagaimana guru itu seharusnya. Saya rasa ini akan jauh membawa perubahan untuk guru. Diberikan kesempatan melihat teladan nyata, bukan hanya teori.
Atau guru-guru dikirim ke daerah-daerah terpencil dan terluar. Untuk menempa mentalnya. Agar muncul jiwa dedikasi sebagai seorang pendidik ibarat yang kita lihat pada Gerakan Indonesia Mengajar, Sekolah Guru Indonesia-Dompet Dhuafa dan sebagainya.
Saya rasa ini salah satu resep yang bisa diberikan kepada dunia pendidikan yang sedang gawat darurat. Tentu banyak resep yang lebih anggun lagi. Tapi pada dasarnya yaitu untuk merubah mindset dan sikap guru. Bukan repot-repot menganti kurikulum, ribut-ribut merubah jam sekolah yang membutuhkan biaya teramat mahal.
Pak Jokowi kini telah membekukan Permendikbud No. 23 sebagai dasar FDS. Selanjutnya akan menerbitkan Perpres. Saya harap Perpres itu nanti berupa resep obat yang sempurna biar belum dewasa tidak diperlakukan lagi ibarat robot. Tidak diperlakukan ibarat ikan yang disuruh memanjat pohon. Membuat sekolah tidak lagi ibarat camp penyiksaan anak-anak. Sekolah tidak lagi sebagai mesin pembunuh kreatifitas dan kepribadian anak.
Lalu bagaimana dengan kualitas saya pribadi? Bukankah saya juga seorang guru? Untuk menggambarkannya saya ajak anda berandai-andai.
Seandainya semenjak awal guru direkrut melalui sekolah ikatan dinas. Meskipun diberikan kesempatan 99 kali ikut tes, saya rasa saya tidak akan lulus. Bagaimana jikalau diberikan kesempatan yang ke-100? Sama. Kemungkinan besar saya juga tidak akan lulus.
*) Ditulis oleh Lukman Bin Saleh. Guru SDN 3 Sambik Elen, Kecamatan Bayan, KLU
0 Response to "Pak Jokowi, Jangan Salah Berikan Belum Dewasa Itu Obat"
Post a Comment