Pembelajaran Holistik Yang Menyenangkan
Tujuan pembelajaran pendidikan holistik justru membentuk insan secara utuh (holistic) yang berkarakter. |
Padahal ada banyak potensi lainnya yang perlu dikembangkan, sebab berdasarkan teori Howard Gardner, wacana kecerdasan majemuk, potensi akademik hanyalah sebagian saja dari potensi-potensi lainnya. Teori ini juga menawarkan pandangan gres dalam dunia pendidikan secara global. Siswa dipandang berdasarkan kepada potensi yang dimilikinya. Bagaimana suatu sistem pendidikan lebih terfokus kepada potensi yang dimiliki oleh masing-masing individu. Hukum alam selalu memperlihatkan bahwa di mana pun insan di muka bumi ini, yang mempunyai IQ di atas angka 120 tidak lebih dari 10 persen jumlah penduduk. Namun sebaliknya, sebagian besar mereka yang kecerdasannya bukan pada dimensi akademik justru menjadi seorang pemimpin, ilmuwan, pemikir, dan jago strategis, serta dimensi-dimensi lainnya sepeti pekerjaan teknisi, musisi, mesin (motorik), artis, atau hal-hal lain yang sifatnya “lebih konkrit”. Kualitas produksi barang dan jasa pun sangat tergantung pada kualitas segmen penduduk yang lebih banyak didominasi ini. (Doni Koesoema A., 2010).
Tantangannya yaitu apakah penduduk lebih banyak didominasi pelajar di Indonesia ini sudah dipersiapkan untuk sanggup bekerja secara profesional sehingga sanggup menghasilkan generasi yang berkualitas?
Sejak 2500 tahun kemudian Socrates telah berkata bahwa tujuan yang paling fundamental dari pendidikan yaitu utuk menciptakan seseorang yang “good” dan “smart” . Manusia yang terdidik seharusnya menjadi orang bijak, yaitu yang sanggup memakai ilmunya untuk hal-hal yang baik ( berzakat sholeh), dan sanggup hidup secara bijak (thoughtful and decent human being).
Karenanya sebuah sistem pendidikan yang berhasil yaitu yang sanggup membentuk mansia-manusia terampil dan berkarakter yang sangat diharapkan dalam mewujudkan sebuah Negara kebangsaan yang terhormat.
Melalui konsep pembelajaran holistik proses pembelajaran berusaha memasukkan semua unsur-unsur nilai yang dibutuhkan oleh siswa dalam menghadapi zaman yang semakin berkembang. Karena dengan kurikulum yang disusun secara holistik dan sistematik, diharapkan bisa membangun dan mengembangkan potensi dan huruf siswa. Selain siswa diajak untuk senantiasa care dan peduli terhadap lingkungan, namun juga untuk mengembangkan ketrampilan dalam bersosialisasi sebab melibatkan siswa dalam acara nyata. Berbeda dengan pola pendekatan traditional, pembelajaran lebih menekankan kepada pengetahuan saja, dirancang secara terpisah-pisah dan bersifat abstraksi.
Pembelajaran yaitu sentra acara berguru mengajar, yang terdiri dari guru dan siswa, yang bermuara pada pematangan intelektual, kedewasaan emosional, ketinggian spiritual, kecakapan hidup, dan keagungan moral. (Asmani, 2011). Sebagian besar waktu anak dihabiskan dalam rutinitas pembelajaran setiap hari. Jangan hingga waktu yang telah dipakai habis sia-sia tanpa bermakna.
Namun dalam pembelajaran yang holistik mendorong seorang individu dalam menemukan identitas diri, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Secara historis, pembelajaran secara holistik sesungguhnya bukan hal yang baru. Para penganut pola pendekatan ini terus berkembang. Pola pembelajaran ini sangat berbeda jauh dengan pola pendekatan yang banyak dipakai dikala ini. Namun pembelajaran holistik telah banyak dipakai oleh negara-negara maju. Mengapa pendidikan di Indonesia masih belum banyak memakai pola ini? Padahal pembelajaran holistik membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggembirakan, demoktaris dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan pembelajaran traditional, lebih bahagia melihat siswa duduk damai dan rapi, selalu menerima ceramah dari gurunya, murid harus mendengar, menulis tanpa melaksanakan kegiatan, yang menciptakan siswa selalu tertekan dan murung.
Baca juga: Berilah Anak Kesenangan dalam Belajar
Bangsa kita sudah terlalu nyaman dengan kondisi yang ada sekarang, sehingga munculnya pemikiran gres dijadikan sesuatu hal yang berat untuk diterima. Padahal, berdasarkan (Basil Bernstein, 2000) melalui pendidikan holistik, akseptor didik diharapkan sanggup menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti sanggup memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, berguru melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta sanggup mengembangkan huruf dan emosionalnya.
Jika merujuk pada pemikiran Abraham Maslow dalam buku Goble, 2004 menyatakan bahwa; pendidikan harus sanggup mengantarkan akseptor didik untuk memperoleh aktualisasi diri (self-actualization) yang ditandai dengan adanya: (1) kesadaran; (2) kejujuran; (3) kebebasan atau kemandirian; dan (4) kepercayaan. Ini artinya bahwa siswa diberi nilai-nilai keyakinan, keluhuran, kesadaran dan kekuatan berdiri di atas kakinya sendiri dalam melaksanakan apapun. Namun kenyataannya, siswa dicekoki dengan segudang teori, siswa dibebani dengan segudang tugas-tugas dan PR, tanpa memperhatikan aspek psikologi siswa.
Pembelajaran holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki akseptor didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh sebab itu taktik pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan taktik pembelajaran holistik, diantaranya: (1) memakai pendekatan pembelajaran transformatif; (2) mekanisme pembelajaran yang fleksibel; (3) pemecahan problem melalui lintas disiplin ilmu, (4) pembelajaran yang bermakna, dan (5) pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada. Guru-guru mempunyai segudang ilmu dan metode dalam mengajar, biar suasana di kelas menjadi hidup. Jauh berbeda dengan pola pembelajaran dikala ini di Indonesia, guru masih berperan sebagai center oriented, dan siswa menjadi objeknya. Terlebih lagi, guru minim metode dalam mengajar.
Dalam pola pendekatan holistik ini, kiprah dan otoritas guru untuk memimpin dan mengontrol acara pembelajaran hanya sedikit dan guru lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator. (Asmani, 2011) mengibaratkan kiprah guru mirip seorang sahabat yang menemani dalam perjalanan, orang yang telah berpengalaman dan menyenangkan. Sekolah dipandang sebagai kawasan yang menyenangkan, kawasan yang selalu dirindukan untuk berkumpul dan kawasan sarana bagi siswa bergembira. Namun kenyataannya, kebanyakan guru di sekolah sebagai diktator, siswa harus mendapatkan setiap kehendak guru tanpa mempertimbangkan wangsit dari diri mereka sendiri, yang jadinya menimbulkan siswa selalu merindukan liburan tiba, siswa tidak betah berada di sekolah lama-lama, sebab lingkungan di luar sekolah lebih menyenangkan dan menggembirakan.
Sekolah hendaknya menjadi kawasan akseptor didik dan guru bekerja sama guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama lebih diutamakan dari pada kompetisi. Tidak ada perbandingan antara siswa yang satu dengan yang lainnya. Kebersamaan yaitu kunci mencapai tujuan. Namun kenyataannya, kebanyakan sekolah justru menonjolkan ranking-ranking di kelas, acuannya perbandingan dengan siswa dalam satu kelas. Akibatnya, siswa pintar semakin mempunyai ego yang tinggi, dan siswa terbelakang semakin terkucilkan.
Gagasan pembelajaran holistik masih sangat sedikit diterapkan di sekolah-sekolah di Indonesia, mungkin dalam penyelenggaraannya sangat jauh berbeda dengan pendidikan pada umumnya, salah satu contoh yaitu homeschooling, yang dikala ini telah berkembang, dan sekolah-sekolah swasta dengan kurikulum terpadu yang sudah mulai banyak diminati di Indonesia. Dan kenyataannya sekolah-sekolah pemerintah, lebih bahagia memakai pola pembelajaran traditional, semua berjalan sendiri-sendiri, tanpa satu-kesatuan yang utuh, sehingga hasil yang diperoleh seakan tanpa makna.
Pembelajaran holistik di sekolah juga melaksanakan pendekatan secara inquiry dimana anak dilibatkan eksklusif dalam perencanaan, berekplorasi dan menyebarkan gagasan. Anak-anak didorong untuk berkolaborasi bersama teman-temannya dan berguru dengan cara mereka sendiri. Anak-anak diperdayakan sebagai si pembelajar dan bisa mengejar kebutuhan berguru mereka melalui tema-tema yang dirancang. Proses pembelajaran saling sambung-menyambung. Sehingga memudahkan siswa mengaitkan suatu insiden dengan insiden lainnya secara menyeluruh. Dan kenyataannya, sekolah-sekolah pada umumnya lebih suka memakai aneka macam macam mata pelajaran, tanpa melihat kebutuhan akseptor didik, yang jadinya menjadi beban berat bagi siswa ketika menghadapi ujian akhir.
Tujuan pembelajaran pendidikan holistik justru membentuk insan secara utuh (holistic) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek fisik, emosi, sosial, kreativitas, spiritual dan intelektual siswa secara optimal. Sehingga terbentuk insan yang lifelong learners (pembelajar sejati). (Donie Koesoema, Pendidikan Karakter, 2007). Sekolah selalu didambakan oleh siswa, sebab pandangan siswa, sekolah yaitu kawasan segala hal yang menarik bisa terjadi. Dengan menerapkan pembelajaran holistik diharapkan seluruh warga sekolah bisa menjadi pemegang kiprah penting dalam mewujudkan generasi yang siap baik psikis, jiwa maupun mentalnya. Dan impian ke depannya, semoga pembelajaran holistik bisa diterima di tengah dunia pendidikan di Indonesia, biar sekolah menjadi kawasan yang paling didamba dan dirindukan oleh siswa.
*) Ditulis oleh Delta Nia, S.Pd, M.Pd, Guru Kelas di SDIT Al Ittihad Rumbai
0 Response to "Pembelajaran Holistik Yang Menyenangkan"
Post a Comment