Renungan Bagi Guru: Air Mata Dari Tas Seorang Siswi

Khususnya untuk para guru. Hendaklah mengetahui kehidupan eksklusif siswanya.
Beberapa dari kita mungkin pernah membaca dongeng haru seorang siswi dari negeri Yaman. Negeri yang mempunyai sejarah panjang. Pusat pemerintahan negeri Saba, yang ratunya sangat populer di kalangan kaum Muslim: Ratu Balqis (Bilqis). Negeri tempat Raja Abrahah membangun Ka’bah tandingan. Negeri sebagai sumber penyebaran agama Islam di Indonesia. Sehingga budaya masyarakat pedesaan Indonesia dan penduduk Yaman banyak kemiripan. Berkain sarung, makan menggunakan sambal terasi, kerupuk, dan sejenisnya.

Meskipun mempunyai sejarah panjang dan pernah menjadi sentra peradaban besar. Jika dibanding dengan rata-rata negara Arab lainnya, Yaman tergolong negara miskin. Bahkan kini sedang perang saudara. Antara pemerintah dengan milisi Houthi. Sampai-sampai presidennya harus mengungsi ke Saudi.

Kisah ini begitu menyentuh tapi sangat berharga untuk diambil sebagai pelajaran.

Peristiwa ini terjadi di salah satu Sekolah Menengan Atas Putri di kota Sana’a, Ibukota Yaman. Salah satu kebijakan sekolah ialah merazia tas siswa secara rutin. Dilakukan oleh tim khusus. Memastikan tidak ada barang-barang yang terlarang di bawa ke dalam sekolah. Misalnya HP berkamera, foto-foto, alat kecantikan, dan lain sebagainya.

Satu hari, razia dilakukan menyerupai biasa. Satu persatu kelas diperiksa. Tas dibuka satu persatu. Tidak ada siswi yang kedapatan membawa barang terlarang.

Sekarang tinggal kelas terakhir. Pemeriksaanpun dimulai. Tampak di salah satu sudut kelas seorang siswi terlihat tegang. Siswi tersebut dikenal cerdas dan sopan. Tapi juga mempunyai sifat tertutup dan pemalu. Jarang berbaur dengan siswi-siswi lainnya. Selalu menyendiri.

Dia memandang tim pemerikasa dengan wajah cemas. Tangannya mencengkram tas yang di bawa. Semakin bersahabat tim pemeriksa, wajahnya semakin ketakutan.

Tidak usang kemudian tibalah gilirannya untuk diperiksa. Dia semakin berpengaruh memegang tasnya. Tidak memberi izin tim pemeriksa membukanya.

“Bukalah tasmu...” kata tim pemeriksa. Tapi siswi tersebut malah memeluk tasnya. “Berikan tasmu...” tim menegaskan. “Tidak...” kata siswi tersebut dengan wajah takut bercampur murung dan panik.

Kegaduhanpun terjadi. Tangan mereka saling berebut. Siswi tersebut memeluk tasnya semakin erat. Bahkan kini sambil menangis. Siswi-siswi yang lain dan para guru terkejut dengan insiden ini. Karena siswi tersebut dikenal pintar, disiplin, sopan. Bukan siswi yang amburadul. Tidak mungkin membawa yang aneh-aneh di tasnya. Tapi kenapa tidak mau diperiksa?

Setelah berdiskusi sebentar. Tim pemerikasa setuju untuk membawa siswi tersebut dengan tasnya ke kantor sekolah. Mereka mengawalnya dengan ketat. Jangan hingga ada kesempatan membuang sesuatu dari dalam tasnya. Siswi tersebut kini memasuki kantor sekolah, sambil terisak serta air mata yang terus mengalir.

Karena perilakunya selama di sekolah baik dan tidak pernah bermasalah. Kepala sekolah menenangkan hadirin. Dan meminta siswi lainnya kembali ke kelas masing-masing. Guru-guru lainnya juga dimohon untuk keluar. Hingga yang tersisa hanya tim pemeriksa, kepala sekolah.

Kepala sekolah berusaha menenangkannya. Lantas bertanya dengan lembut. “Apa yang engkau sembunyikan wahai putriku...?

Setelah beberapa kali mencoba. Akhirnya siswi itu menyerah. Dan dengan berat hati membuka tasnya. Apa bekerjsama yang berada di sana?

Tidak ada benda-benda terlarang atau haram. Telpon genggam, foto-foto, apalagi narkoba. Semua tidak ada.

Di sana hanya ada alat tulis dan potongan-potongan roti.

Tim pemeriksa menanyakan roti yang tampak aneh. Dipotong tidak karuan dengan banyak sekali macam jenis.

Setelah lebih tenang, siswi itu berkata “Roti ini ialah sisa-sisa dari para siswi yang mereka buang. Aku kumpulkan diam-diam. Aku pakai sarapan sebagian, sebagiannya saya bawa pulang untuk kubagikan ke keluargaku. Ibu dan saudara-saudaraku tidak pernah mempunyai makanan yang cukup. Mereka akan selalu kelaparan jikalau saya tidak membawakan sisa-sisa roti ini.”

“Inilah yang menciptakan saya menolak membuka tas. Aku tidak mau dipermalukan di hadapan teman-temanku di kelas. Nanti mereka mengejekku, yang menciptakan saya tidak sanggup lagi memungkut sisa-sisa roti mereka. Bahkan mungkin saya akan berhenti sekolah alasannya ialah malu.”

Saat itu juga semua yang hadir tertegun. Semuanya menitikkan air mata.

Ini hanyalah salah satu peristiwa yang ada di dunia ini. Tidak menutup kemungkinan kehidupan yang dramatis menyerupai ini ada di sekitar kita. Tetangga, satu desa, satu kota atau di kawasan lain. Sementara kita tidak mengetahuinya. Atau terkadang menutup mata. Hanya sibuk dengan urusan pribadi.

Baca juga: Belum Banyak Guru yang Memiliki Jiwa Mendidik

Khususnya untuk para guru. Hendaklah mengetahui kehidupan eksklusif siswanya. Keadaan keluarga dan ekonominya. Kenali mereka dengan baik. Berikan mereka perhatian dan kasih sayang. Jika satu dikala keluarganya sendiri tidak sanggup diperlukan atau keluarganya memang tidak ada. Siapa lagi tempat mereka mengadu dan berkeluh kesah selain gurunya? Karena sekolah merupakan rumah kedua bagi anak-anak. Guru ialah orang renta berikutnya.

*) Ditulis oleh Lukman bin Saleh, Guru di di SDN 1 Bayan - Lombok Utara

0 Response to "Renungan Bagi Guru: Air Mata Dari Tas Seorang Siswi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel