Peralihan Kekuasaan Dari Presiden Soekarno Kepada Jenderal Soeharto

Pada sidang umum MPRS tahun 1966, presiden selaku mandataris MPRS diminta oleh MPRS bagi atau dapat juga dikatakan untuk memperlihatkan pertanggungjawaban mengenai kebijakan yng sudah di lakukan, khususnya mengenai persoalan yng menyangkut insiden G30S/PKI. Akan tetapi dalam pidato pertanggungjawabannya itu, presiden cenderung cuma memperlihatkan amanat semisal apa yng di lakukan di hadapan sidang-sidang forum yng berada di lingkungan tanggung jawabnya. Presiden memperlihatkan nama pidato pertanggungjawabannya itu Nawaksara yng pengertiannya sembilan pokok masalah. Namun persoalan nasional perihal G30S/PKI tak disinggung percis sekali, menyebabkan pertanggungjawaban presiden dianggap tak lengkap. Oleh karena itu, pimpinan MPRS meminta kepada presiden bagi atau dapat juga dikatakan untuk melengkapinya. Sehubungan persoalan pertanggungjawaban presiden serta bertambah gawatnya situasi konflik, maka pada tanggal 9 Februari 1967, DPR-GR mengajukan resolusi serta memorandum kepada MPRS bagi atau dapat juga dikatakan untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa. Selanjutnya usaha-usaha bagi atau dapat juga dikatakan untuk menuntaskan situasi konflik diupayakan secara terus-menerus.
Berhubungan yang dengannya banyaknya munculnya reaksi-reaksi rakyat, maka pimpinan ABRI mengadakan pendekatan langsung yang dengannya presiden. Kehendak pimpinan ABRI dalam menuntaskan konflik itu merupakan biar presiden sebelum Sidang Umum MPRS sudah menyerahkan kekuasaannya kepada pengemban Tap MPRS No IX/MPRS/1966 ataupun kepada pengemban Supersemar, adalah kepada Jenderal Soeharto. Hal ini dimaksudkan bagi atau dapat juga dikatakan untuk mencegah perpecahan dikalangan rakyat serta pula bagi atau dapat juga dikatakan untuk menyelamatkan forum kepresidenan dan langsung Presiden Soekarno sendiri biar dapat tak dipermasalahkan berkepanjangan. Pada tanggal 7 Februari 1967, Jenderal Soeharto mendapat surat sesuatu yang di sembunyikan dari Presiden Soekarno melalui perantaraan Hardi, S.H. Pada surat yang telah di sebutkan dilampiri konsep surat penugasan mengenai pimpinan pemerintahan sehari-hari kepada pemegang Supersemar itu. Lantas pada tanggal 8 Februari 1966 konsep yang telah di sebutkan dibahas oleh Jenderal Soeharto bersama keempat panglima ABRI. Jenderal Soeharto serta para panglima berkesimpulan sebetulnya konsep surat yang telah di sebutkan tak dapat diterima, karena penugasan semacam itu tak akan membantu penyelesaian konflik yng ada.
Pada tanggal 10 Februari 1967, Jenderal Soeharto menghadap Presiden serta membicarakan mengenai surat penugasan khusus itu dan menciptakan laporan pendirian Panglima Angkatan. Pada tanggal 11 Februari 1967, para Panglima Angkatan menemui Presiden di Bogor. Di hadapan Presiden, Jenderal Soeharto mengajukan konsep yng mempermudah bagi atau dapat juga dikatakan untuk menuntaskan situasi konflik. Sementara itu Presiden meminta waktu bagi atau dapat juga dikatakan untuk mempelajarinya. Konsep yng diajukan oleh Jenderal Soeharto kepada Presiden berisi pernyataan Presiden berhalangan ataupun Presiden menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 sesuai yang dengannya ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966. Sesuai yang dengannya akad Presiden pada tanggal 12 Februari 1967 Jenderal Soeharto beserta yang dengannya para Panglima Angkatan mengadakan pertemuan lagi. Dalam pertemuan itu Presiden menyatakan tak dapat mendapat konsep yng diajukan oleh Jenderal Soeharto. Presiden mengusulkan biar dapat diadakan perubahan bentuk serta tak menyetujui pernyataan yng isinya berhalangan. Presiden mengusulkan biar keesokan harinya diadakan pertemuan lagi.
Pada tanggal 13 Februari 1967, para Panglima berkumpul kembali bagi atau dapat juga dikatakan untuk membicarakan konsep yng sudah disusun sebelum diajukan kepada Presiden. Jam 11.00 WIB para panglima mengutus Jenderal Panggabean serta Jenderal Polisi Soetjipto Judodihardjo bagi atau dapat juga dikatakan untuk menghadap Presiden. Dalam pertemuan itu tak tercapai kesepakatan, karena Presiden masih menuntut diadakannya perubahan pada konsep surat itu. Akan tetapi beberapa waktu lantas, yang dengannya perantaraan Mayor Jenderal Surjo Sumpeno (Ajudan Presiden), presiden menyatakan oke terhadap konsep yng diajukan oleh Jenderal Soeharto, akan tetapi Presiden meminta jaminan dari Jenderal Soeharto. Pada tanggal 23 Februari 1967 di Istana Negara Jakarta yang dengannya disaksikan oleh Ketua Presidium Kabinet Ampera serta para menteri, Presiden/Mandataris MRS/Panglima tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang dengannya resmi sudah menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 Jenderal Soeharto.
Sumber : Internet

Sumber Rujukan Dan Gambar :

0 Response to "Peralihan Kekuasaan Dari Presiden Soekarno Kepada Jenderal Soeharto"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel