Perkembangan Dunia Pers Di Indonesia

Pengertian Pers secara umum merupakan segala bisnis dari alat-alat komunikasi massa bagi atau bisa juga dikatakan untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat akan hiburan, keinginan, peristiwa, informasi yng terealisasi dalam wujud surat kabar, majalah, bulletin ataupun media cetak lain ataupun di usahakan melalui radio, televisi, serta film.
Perkembangan Dunia Pers di Indonesia
1. Awal Kemerdekaan (1942-1945)
Pers di awal kemerdekaan dimulai pada masa jaman jepang. Yang dengannya munculnya pandangan gres sebetulnya beberapa surat kabar sunda bersatu bagi atau bisa juga dikatakan untuk meneritkan surat kabar gres Tjahaja (Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan serta dibuat di Padang Nippo (melayu), serta Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji). Dalam acara penting mengenai kenegaraan serta kebangsaan Indonesia, semenjak persiapan sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang serta pejuang wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, serta Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti Melik, Sutan Sjahrir, serta lain-lain.
2. Sesudah Indonesia Merdeka/Orde Lama (1945-1959)
Penyebaran Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Penyebarluasan wacana Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di lakukan oleh wartawan-wartawan Indonesia di Domei, di bawah pimpinan Adam Malik. Berkat bisnis wartawan-wartawan di Domei dan penyiar-penyiar di radio, maka praktisi pada bulan September 19945 seluruh wilayah Indonesia serta dunia luar bisa mengetahui wacana Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. RRI (Radio Republik Indonesia) terbentuk pada tanggal 11 September 1945 atas prakasa Maladi. Dalam usahanya itu Maladi mendapat pertolongan dari rekan-rekan wartawan lain-lainnya, semisal Jusuf Ronodipuro, Alamsjah, Kadarusman, serta Surjodipuro. Pada masa berdirinya, RRI pribadi mempunyai delapan cabang pertamanya, yakni di Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, serta Surabaya. Surat kabar Republik I yng terbit di Jakarta merupakan Nerita Indonesia, yng terbit pada tanggal 6 September 1945. Surat kabar ini disebut juga menjdai cikal bakal Pers nasional semenjak proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, perkembangan pers republic Amat pesat, walaupun mendapat tekanan dari pihak penguasa peralihan Jepang serta Sekutu/Inggris, serta pula adanya kendala distribusi.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, di Sumatera serta sekitarnya, bisnis penyebarluasan informasi di lakukan mula-mula berupa pamflet-pamflet, stensilan, sampai kesannya dicetak, serta disebar ke daerah-daerah yng terpencil. Pusat-pusatnya yakni di Kotaraja (saat ini Banda Aceh), Sumatera Utara di Medan dimana kantor informasi cabang Sumatera pula ada di Medan, kemudian Sumatera Barat di Padang, Sumatera Selatan di Palembang. Selain itu, di Sumatera muncul surat kabar-surat kabar kaum republik yng baru, di samping surat surat kabar yng telah ada berganti menjadi surat kabar Republik, yang dengannya nama usang ataupun berubah nama.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan RI
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Sulawesi serta sekitarnya, kalangan pers selalu mendapat tekanan-tekanan, semisal yng dialami Manai Sophiaan yng mendirikan surat kabar Soeara Indonesia di Ujung Pandang. Di Manado serta sekitarnya (Minahasa) tekanan dari pihak penguasa pendudukan selalu dialami oleh kalangan pers. Di kawasan terpencil, semisal Ternate yng yakni kawasan yng pertama kali diduduki oleh tentara Sekutu, para pejuang di kalangan pers tetap mempunyai semangat tinggi. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Jawa serta sekitarnya, pertumbuhan pers paling subur, bila dibandingkan yang dengannya daerah-daerah lain di wilayah RI ini. Hal itu penyebabnya yaitu jumlah wartawan yng lebih tidak sedikit serta pula karena pusat pemerintahan RI ada di Jawa. Pusat-pusatnya, merupakan di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Solo, serta Surabaya.
Sementara itu, para wartawan serta penerbit sepakat bagi atau bisa juga dikatakan untuk menyatukan barisan pers nasional, karena selain pers menjdai alat usaha serta penggerak pembaangunan bangsa. Kalangan pers sendiri masih Perlu memecahkan masalah-masalah yng orang-orang hadapi masa sekarang serta masa mendatang. Bagi atau bisa juga dikatakan untuk itulah, maka kalangan pers butuh wadah guna mempersatukan pendapat serta aspirasi orang-orang. Hal yang telah di sebutkan terwujud pada tanggal 8-9 Februari 1946, yang dengannya terbentuknya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Solo ataupun Surakarta.
Sesudah Serangan Militer
Sesudah serangan militer Belanda 1 pada tanggal 21 Juli 1947, keadaan pers republik bertambah berat serta susah. Kegiatan penerbitan serta penyiaran waktu itu mengalami pengekangan serta penitikberatan yng berat, karena pihak penguasa Belanda bisa secara mendadak pribadi menyerbu ke kantor redaksi ataupun percetakan surat kabat yng bersangkutan, sekalian menangkap pemimpin redaksi ataupun wartawan surat kabar yang telah di sebutkan. Pihak penguasa Belanda mengusahakan penerditan non republik dibantu oleh kaum separatis Pro Belanda. Bisnis yang telah di sebutkan di lakukan yang dengannya tujuan bagi atau bisa juga dikatakan untuk melancarkan propaganda sekalian politik tabrak dombanya, yng bisa menumbuhkan kebingungan serta kepanikan di kalangan masyarakat luas. Sewaktu pusat Pemerintahan RI pindah ke Yogyakarta, kantor informasi Antara pusat turut pindah di bawah pimpinan Adam Malik Batubara, serta KB Antara Jakarta menjadi cabang yng dipimpin oleh Mochtar Lubis, Ibnu Muhammad Arifin, serta Wan Asa Bafagih. Ini berakibat pula pindahnya sebagian tokoh-tokoh pers Republik ke Pusat Pemerintahan RI yng gres yang telah di sebutkan.
Keadaan Republik Indonesia bertambah suram lagi sewaktu pada tanggal 19 Desember 1948 penguasa Belanda sukses menduduki kota Yogyakarta. Penguasa Belanda serta kaum separatis pro Belanda makin berani bertindak kekerasan serta melaksanakan penahanan terhadap para pejuangdan kalangan pers (wartawan) Republik. Pada masa itu jumlah wartawan tidak banyak, biasanya para wartawan yang telah di sebutkan ditangkap serta dipenjarakan menjdai tahanan politik. Para wartawan yng sukses lolos ada yng keluar kota serta ada pula yng ikut bergerilya bersama Tentara Nasional Indonesia di pedalaman serta di desa=desa terpencil. Walau begitu, orang-orang tetap mengusahakan penerbitan berupa stensilan. Bisnis penerbitan pers RI pula diramaikan oleh partisipasi pihak lain, semisal; kalangan pers dari golongan peranakan Cina serta keturunan Arab, ditambah dari pihak Tentara Nasional Indonesia di daerah-daerah tertentu serta yng yang terakhir merupakan pemerintah RI sendiri mengusahkan penerbitan yang dengannya membantu pembiayaan bisnis penerbitan pers oleh kalangan pers (wartawan) Republik.
3. Masa Orde Bru (1959-1998)
Di masa demokrasi Liberal, tiap orang yng memiiki uang ataupun modal boleh menerbitkan surat kabar ataupun majalah. Tak dibutuhkan izin ataupun ratifikasi dari siapapun. Melalui surat kabar serta majalah ini orang boleh menunjukkan pendapat serta perasaannya, mengakibatkan tidak sedikit Koran serta majalah muncul di masa ini serta orang-orang saling berlomba menerbitkan surat kabar serta majalah sekalipun namyak yng tak bisa bertahan bagi atau bisa juga dikatakan untuk terus terbit yang dengannya teratur. Koran-koran bekas milik RDV (Dinas Penerangan Belanda), setelah ratifikasi kedaulatan dialihkan ke tangan tenaga-tenaga Indonesia, Koran bekas RDV hidup jauh lebih baik daripada Koran Indonesia yng ditangani pribadi oleh orang Indonesia. Hal ini antara lain penyebabnya yaitu Koran milik RDV sewaktu dialihkan telah mempunyai pegawanegeri distribusi yng lengkap. Selain itu koran RDV mempunyai pegawanegeri distribusi yng lengkap. Selain itu koran RDV mempunyai perlengkapan cetak yng jauh lebih lengkap serta canggih dibandingkan yang dengannya percetakan koran bangsa Indonesia.
Matinya majalah serta koran bermutu di masa Demokrasi Liberal mungkin besar penyebabnya yaitu oleh mismanajemen ataupun salah urus baik dibidang teknik redaksional, teknis perlengkapan, keuangan, serta bernagai urusan perusahaan lain-lainnya. Disamping itu munculnya koran serta majalah yng isinya mengarah ke pornografi menciptakan keadaan makin tidak baik. Di masa awal pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, surat kabar serta majalah yng tak bersedia ikut dan dalam gelombang Demokrasi Terpimpin Perlu menyingkir ataupun disingkirkan. Makin usang peaturan ini makin ketat. Di Jakarta, keluar larangan berpolitik dalam segala bentuk salah satunya dalam bentuk tulis-menulis. Khusus mengenai pers ada Sembilan ketentuan yng di antaranya merupakan pers serta alat-akat penyiaran lain-lainnya dihentikan melaksanakan penyiaran acara politik yng pribadi bisa memberi dampak haluan Negara, serta tak bersumber pada tubuh pemerintahan yng berwenang bagi atau bisa juga dikatakan untuk itu.
SIT merupakan Surat Izin Terbit serta SIC merupakan Surat Izin Cetak yng pada masa Demokrasi Terpimpin sukar mendapatkannya. Seluruh penerbit pada tahun 1960 diwajibkan mengajukan permohonan SIT, menjdai ratifikasi dillakukannya acara penyiaran. Pada cuilan bawah permohonan SIT tercantum 19 pasal pernyataan yng mempunyai kandungan akad penanggung jawab surat kabar yang telah di sebutkan yakni andai ia diberi SIT akan mendukung jawab surat kabar yang telah di sebutkan yakni andai ia diberi SIT akan mendukung Manipol-Usdek serta akan mematuhi aliran yng sudah serta akan dikeluarkan oleh penguasa. Pernyataan ini yang dengannya mudah dipergunakan oleh penguasa menjdai alat penekan surat kabar. PWI menjdai satu-satunya organisasi wartawan yng diakui pemerintahdi masaDemokrasi Terpimpin dikelola oleh wartawan-wartawan berpaham komunis serta yng bersimpati pada paham ini. PKI berusaha menguasai PWI yang dengannya sekuat tenaga karena melalui PWI, SPS, serta Pancatunggal SIT serta SIC dikeluarkan. Yang dengannya demikian bisa memilih siapa yng bisa diberi SIT serta SIC.
BPS kependekan dari Badan Pendukung/Penyebar Soekarnoisme. Badan ini dibuat bagi atau bisa juga dikatakan untuk menandingi organisasi yng berinduk pada PKI. Tokohnya yng populer merupakan Sajuti Melik BPS tak menyetujui Nasakaom namun sepakat yang dengannya Nasasos (Naionalis, Agama, Sosialis). Koran pendukung BPS Perlu bersedia memuat tabrakan pena Sajuti Melik menjdai bisnis mengimbangi serta mengadakan perlawanan PKI. BPS ditentang PKI yang dengannya tuduhan BPS hendak mengadakan PWI tandingan. Menjadikan perang pena serta fitnah pun terlaksana. Sewaktu menerbitkan Informasi Yudha, Jenderal Ahmad Yani menyadari di masa Demokrasi Terpimpin itu akan Amat membahayakan masyarakat andaikan tak ada lagi pegangan serta cuma mendapat satu sumber informasi. Era itu cuma ada suara dari PKI, karena itu butuh diambil alih yang dengannya segera harian pendukung BPS Informasi Indonesia serta mengganti namanya Informasi Yudha yang dengannya motto: Bagi atau bisa juga dikatakan untuk Mempertinggi Ketahanan Revolusi Indonesia. Sedangkan Jenderal A. H Nasution pula menerbitkan surat kabar berjulukan Angkatan Bersenjata yang dengannya inti tujuan yng percis.
Beberapa faktor penunjang kesuksesan PKI dalam bidang pers serta media massa yakni:
  1. Disiplin kerja. Yang dengannya disiplin kerja, orang-orang bersedia menyingkirkan pendapat pribadi yang dengannya patuh pada indtruksi atasan.
  2. Jaminan Sosial. Orang-orang mendapat jaminan dalam kehidupannya.
  3. Hubungan yang dengannya fungsionaris/tokoh partai. Hubungan ini akan mempermudah control atas tiap anggota.
  4. Menjdai langkah awal dalam bisnis merumuskan ke hidup-an pers nasional sesuai yang dengannya dasar Negara Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945, merupakan yang dengannya dikeluarkannya Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 pada tanggal 6 Juli 1966. Kalangan pers menyambut keluarnya ketetapan MPRS yang telah di sebutkan yang dengannya pencetusan Deklarasi Wartawan Indonesia, yng diperoleh oleh konferensi Kerja PWI di Pasir Putih Jawa Timur pada tanggal 13-15 Oktober 1966.
Sesudah dewan perwakilan rakyat sukses merealisasikan UU No. 11/1966 menjdai UU Pokok Pers pada tanggal 12 Desember 1966, masalah selanjutnya merupakan mengenai kesepakatan dalam penafsiran dari UU Pokok Pers yang telah di sebutkan, lebih-lebih masalah fungsi, kewajiban serta hak per situ sendiri. Dalam bisnis memantapkan penafsiran dan pelaksaan UU Pokok Pers dalam praktiknya, amak dibentuklah Dewan Pers. Dewan Pers yakni pendamping pemerintah bagi atau bisa juga dikatakan untuk bahu-membahu membina pertumbuhan serta perkembangan pers nasional. Selama masa 4 tahun pertama pemerintahan Orde Baru, walau pemerintah menghadapi banyak sekali masalah stabilitas serta rehabilitas i keamanan, politik pemerinta serta ekonomi, sudah diisi yang dengannya langkah-langkah awal peletakan kerangka dasar bagi pembangunan pers Pancasila.
Tahap selanjutnya merupakan tahap pemantapan menuju tahap pemapanan diri dalam pers nasional. Pada tahap ini upaya yng dialkukan merupakan penerapan prosedur interaksi positif antara pers, masyarakat serta pemerintah.
4. Masa Orde Baru serta Era Reformasi
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno serta masa pemerintahan Presiden Soeharto Amat terbatas oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa bagi atau bisa juga dikatakan untuk memuat setiap informasi Perlu tak boleh bertentangan yang dengannya pemerintah, di masa pemerintahan Soekarno serta Soeharto, kebebasan pers ada, namun lebih dibatasi bagi atau bisa juga dikatakan untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, serta kontrol publik (salah satunya pers). Karenanya, tak mengherankan bila kebebasan pers masa itu lebih tampak menjdai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media serta konsumen pers, bagi atau bisa juga dikatakan untuk memilih corak serta arah isi pers. Bagi Indonesia sendiri, pengekangan pemerintah terhadap pers di mulai tahun 1846, yakni disaat pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin ataupun sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang, serta Surabaya. Sejak itu juga, pendapat wacana kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat izin terbit, sensor, serta pembredelan, akan tetapi di pihak lain menyampaikan sebetulnya kontrol terhadap pers butuh di lakukan.
Menjdai semisal adanya pembatasan terhadap pers yang dengannya adanya SIUPP (Surat Izin Bisnis Penerbitan Pers) sesuai yang dengannya Permenpen 01/1984 Pasal 33h. Yang dengannya definisi ”pers yng bebas serta bertanggung jawab”, SIUPP yakni forum yng menerbitkan pers serta pembredelan. Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan ketidakmampuan system aturan pers mengembangkan konsep pers yng bebas serta bertanggung jawab secara hukum. Ini merupakan semisal pers yng absolut yng di kembangkan pada rezim orde baru. Tidak ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat. Kebebasan beropini yakni satu dari sekian banyaknya hak paling fundamental dalam ke hidup-an bernegara. Sesuai Prinsip Hukum serta Demokrasi, sebetulnya proteksi aturan serta kepastian aturan dalam menegakkan aturan butuh ada keterbukaan serta pelibatan tugas dan masyarakat. Bagi atau bisa juga dikatakan untuk itu, kebebasan pers, hak wartawan dalam menjalankan fungsi mencari serta membuatkan isu Perlu dipenuhi, dihormati, serta dilindungi. Hal ini sesuai yang dengannya Undang-Undang Dasar 45 Pasal 28 wacana kebebasan berserikat, berkumpul serta berpendapat.
Suatu pencerahan tiba kepada kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pada masa itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi, sosial, budaya yng pada masa orde gres terbelenggu. Tumbuhnya pers pada masa reformasi yakni hal yng menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran pers masa ini dianggap telah bisa atau bisa mengisi kekosongan ruang publik yng menjadi celah antara penguasa serta rakyat. Dalam kerangka ini, pers sudah memainkan tugas sentral yang dengannya memasok serta menyebarluaskan isu yng diperluaskan bagi atau bisa juga dikatakan untuk penentuan sikap, serta memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama ataupun mengontrol kekuasaan penyelenggara negara. Peran ini beliau yng selama ini sudah dimainkan yang dengannya baik oleh pers Indonesia. Setidaknya, antusias responden terhadap tugas pers dalam mendorong pembentukan opini publik yng berkaitan yang dengannya persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan kesuksesan yang telah di sebutkan.
Sesudah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yng luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Kejadian itu ditandai yang dengannya munculnya media-media gres cetak serta elektronik yang dengannya banyak sekali kemasan serta segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa pula menjadi tanda gres pers Indonesia. Pers yng bebas yakni satu dari sekian banyaknya komponen yng paling esensial dari masyarakat yng demokratis, menjdai prasyarat bagi perkembangan sosial serta ekonomi yng baik. Keseimbangan antara kebebasan pers yang dengannya tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yng penting. Hal yng pertama serta utama, butuh di awasi jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Hingga pada konteks ini, publik Perlu tetap memperoleh isu yng benar, serta bukan benar sekadar pendapat dari media. Pers dibutuhkan menunjukkan informasi Perlu yang dengannya se-objektif mungkin, hal ini bermanfaat biar tak terealisasi ketimpangan antara rakyat yang dengannya pemimpinnya mengenai isu wacana jalannya pemerintahan.
Sungguh ironi, dalam system politik yng relatif terbuka masa ini, pers Indonesia cenderung menunjukkan performa serta perilaku yng dilematis. Di satu sisi, kebebasan yng diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru menciptakan media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Akan tetapi, di sisi lain, kebebasan yang telah di sebutkan pula Suka kali tereksploitasi oleh sebagian industri media bagi atau bisa juga dikatakan untuk memperoleh laba sebanyak-banyaknya yang dengannya mengabaikan fungsinya menjdai instrumen pendidik masyarakat. Bukan cuma sekedar celah antara rakyat yang dengannya pemimpin, namun pers dibutuhkan bisa menunjukkan pendidikan bagi atau bisa juga dikatakan untuk masyarakat biar bisa membentuk abjad bangsa yng bermoral. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat serta dikecam tidak sedikit pihak karena berganti menjadi ”kebablasan pers”. Hal itu terperinci sekali terlihat pada media-media yng menyajikan informasi politik serta hiburan (seks). Media-media yang telah di sebutkan cenderung mengumbar informasi provokatif, sensasional, maupun terjebak mengumbar kecabulan.
Ada hal lain yng Perlu diperhatikan oleh pers, yakni dalam menciptakan isu jangan melecehkan masalah agama, ras, suku, serta kebudayaan lain, biarlah hal ini berkembang sesuai yang dengannya apa yng orang-orang yakini. Di sayangkan, berkembangnya kebebasan pers pula membawa dampak pada masuknya liberalisasi ekonomi serta budaya ke dunia media massa, yng Suka kali mengabaikan unsur pendidikan. Arus liberalisasi yng menerpa pers, memicu Liberalisasi ekonomi pula semakin mengesankan sebetulnya seluruh program ataupun pemuatan rubrik di media massa Amat kental yang dengannya upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tak tercermin dalam tampilan media massa masa ini. Menjdai dampak dari komersialisasi yng hiperbola dalam media massa masa ini, eksploitasi terhadap seluruh hal yng bisa atau bisa membangkitkan minat orang bagi atau bisa juga dikatakan untuk menonton ataupun membaca pun menjadi sajian sehari-hari.
Ide wacana kebebasan pers yng lantas menjadi sebuah iman pelaku industri pers di Indonesia. Ada dua pandang-an besar mengenai kebebasan pers ini. Satu sisi, yakni berlandaskan pada pandang-an naturalistik ataupun libertarian, serta pandang-an teori tanggung jawab sosial. Pendapat dari pandang-an libertarian, semenjak lahir kita-kita mempunyai hak-hak alamiah yng tak bisa diganggu gugat oleh siapa pun, salah satunya oleh pemerintahan. Yang dengannya perkiraan semisal ini, teori libertarian menganggap sensor menjdai kejahatan. Hal ini dilandaskan pada tiga argumen. Pertama, sensor melanggar hak alamiah kita-kita bagi atau bisa juga dikatakan untuk berekspresi secara bebas. Kedua, sensor memungkinkan tiran mengukuhkan kekuasaannya yang dengannya mengorbankan kepentingan orang tidak sedikit. Ketiga, sensor memperhalang upaya pencarian kebenaran. Bagi atau bisa juga dikatakan untuk menemukan kebenaran, kita-kita butuh jalan masuk terhadap isu serta gagasan, bukan cuma yng disodorkan kepadanya.
Kebebasan pers ketika ini yng dipimpin presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta Wapres Jusuf Kalla, negara serta bangsa kita butuh kebebasan pers yng bertanggung jawab (free and responsible press). Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers serta kesadaran pengelola media massa (insan pers), khususnya bagi atau bisa juga dikatakan untuk tak berbuat semena-mena yang dengannya kemampuan, kekuatan dan kekuasaan media massa (the power of the press). Di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta Wapres Jusuf Kalla, kebebasan pers Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, serta kepentingan sasaran pelayanannya, tak peduli apakah orang-orang itu mewakili kepentingan negara (pemerintah), ataupun kepentingan rakyat.
Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers nasional kita, tak cuma akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan pengelola (sumber), ataupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media). Pers Perlu tanggap terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan publik bagi atau bisa juga dikatakan untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers Perlu berperan menjdai fasilitator bagi atau bisa juga dikatakan untuk bisa mengapresiasikan apa yng dimau-kan.
Sumber : Internet

Sumber Rujukan Dan Gambar :

0 Response to "Perkembangan Dunia Pers Di Indonesia"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel