Buku Muatan Hots Pada Pembelajaran Kurikulum 2013 Pendidikan Dasar

Berikut ini yaitu berkas Buku Kajian Pemenuhan Beban Kerja Guru. Download file format PDF. Buku Kajian Pemenuhan Beban Kerja Guru ini diterbitkan oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

 Berikut ini yaitu berkas Buku Kajian Pemenuhan Beban Kerja Guru Buku Kajian Pemenuhan Beban Kerja Guru
Buku Kajian Pemenuhan Beban Kerja Guru

Buku Kajian Pemenuhan Beban Kerja Guru

Berikut ini kutipan teks/keterangan dari isi berkas Buku Kajian Pemenuhan Beban Kerja Guru:

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 wacana Penguatan Pendidikan Karakter telah menyerahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah untuk melaksanakan Kebijakan Lima Hari Sekolah (LHS) bagi yang telah siap. Hingga dikala ini cukup banyak sekolah yang menerapkan LHS. Namun demikian dengan penerapan LHS, guru masih banyak yang belum memenuhi beban kerja minimal guru yaitu 24 JTM per minggu. Kajian ini berupaya untuk merekomendasikan kebijakan yang sanggup digunakan guru untuk memenuhi tuntutan beban kerja minimal guru yaitu 24 JTM per ahad dalam rangka pemenuhan persyaratan penerimaan Tunjangan Profesi Guru (TPG). Kajian ini menganalisis data-data sekunder wacana jumlah beban kerja guru serta regulasi-regulasiyang mengaturnya. Hasil kajian ini juga diperkaya dari Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) sebagai eksplorasi mendalam di empat lokasi yang dipilih secara purposif. Kajian ini menyimpulkan bahwa: (i) rerata JTM guru yang mengajar di dua sekolah yaitu 14,6 JTM/ ahad di sekolah induk, dan 12,3 JTM/minggu di sekolah lain, (ii) Pemerintah kawasan umumnya tidak menciptakan kebijakan khusus untuk membantu guru memenuhi beban kerja minimalnya, (iii) Kepala sekolah cenderung memberi prioritas kepada gurunya yang sudah menerima sertifikat pendidik supaya mengajar minimal 24 JTM/minggu sehingga membuka kesempatan menerima TPG, dan (iv) hambatan yang dihadapi guru dalam memenuhi tuntutan beban kerja minimal antara lain banyak kegiatan pembimbingan yang menjadi kiprah pokok dan fungsi guru (Tupoksi) guru yang belum diakui ekuivalen dengan JTM tertentu menyerupai kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan remedial/pengayaan dan sebagainya. Semoga hasil kajian ini sanggup memperlihatkan masukan kebijakan baik di tingkat sentra maupun kawasan dalam merumuskan kebijakan wacana profesionalisme guru.

Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud), Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun 2018 menerbitkan Buku Laporan Hasil Penelitian yang telah dilakukan pada tahun 2017. Penerbitan buku laporan hasil penelitian ini dimaksudkan untuk menyebarluaskan hasil penelitian kepada aneka macam pihak yang berkepentingan dan sebagai salah satu upaya untuk memperlihatkan manfaat yang lebih luas dan wujud akuntabilitas publik.

Hasil penelitian ini telah disajikan di aneka macam kesempatan secara terbatas, sesuai dengan kebutuhannya. Buku ini sangat terbuka untuk mendapatkan masukan dan saran dari aneka macam pihak. Semoga buku ini sanggup bermanfaat bagi para pengambil kebijakan dan acuan bagi pemangku kepentingan lainnya dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dan kebudayaan.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 wacana Penguatan Pendidikan Karakter telah menyerahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah untuk melaksanakan Kebijakan Lima Hari Sekolah (LHS) bagi yang telah siap. Hingga dikala ini cukup banyak sekolah yang menerapkan LHS. Namun demikian dengan penerapan LHS, guru masih banyak yang belum memenuhi beban kerja minimal guru yaitu 24 JTM per minggu. Kajian ini berupaya untuk merekomendasikan kebijakan yang sanggup digunakan guru untuk memenuhi tuntutan beban kerja minimal guru yaitu 24 JTM per ahad dalam rangka pemenuhan persyaratan penerimaan Tunjangan Profesi Guru (TPG).

Kajian ini menganalisis data-data sekunder wacana jumlah beban kerja guru serta regulasi-regulasiyang mengaturnya. Hasil kajian ini juga diperkaya dari Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) sebagai eksplorasi mendalam di empat lokasi yang dipilih secara purposif. Kajian ini menyimpulkan bahwa: (i) rerata JTM guru yang mengajar di dua sekolah yaitu 14,6 JTM/minggu di sekolah induk, dan 12,3 JTM/minggu di sekolah lain, (ii) Pemerintah kawasan umumnya tidak menciptakan kebijakan khusus untuk membantu guru memenuhi beban kerja minimalnya, (iii) Kepala sekolah cenderung memberi prioritas kepada gurunya yang sudah menerima sertifikat pendidik supaya mengajar minimal 24 JTM/minggu sehingga membuka kesempatan menerima TPG, dan (iv) hambatan yang dihadapi guru dalam memenuhi tuntutan beban kerja minimal antara lain banyak kegiatan pembimbingan yang menjadi kiprah pokok dan fungsi guru (Tupoksi) guru yang belum diakui ekuivalen dengan JTM tertentu menyerupai kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan remedial/pengayaan dan sebagainya.

Semoga hasil kajian ini sanggup memperlihatkan masukan kebijakan baik di tingkat sentra maupun kawasan dalam merumuskan kebijakan wacana profesionalisme guru. 


BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Permasalahan

Sejak tahun 2016 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mulai mencanangkan implementasi kebijakan wacana Lima Hari Sekolah (LHS). Dengan kebijakan LHS ini guru harus bekerja 37,5 jam efektif per ahad sebagaimana layaknya pegawai negeri sipil, menyerupai yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1995 untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) ahad untuk PNS. Tentunya dalam bekerja perlu ada istirahat sehingga ditetapkan usang kerja PNS per ahad yaitu 40 jam, terdiri atas 37,5 jam kerja efektif per ahad dan 2,5 jam istirahat per minggu.

Salah satu tujuan dari kebijakan LHS bagi guru yaitu supaya guru sanggup memenuhi beban kerja minimalnya yaitu 24 Jam Tatap Muka (JTM) per minggu, sehingga bagi guru yang sudah menerima sertifikat pendidik mendapatkan haknya untuk mendapatkan Tunjangan Profesi Guru (TPG). Kaprikornus LHS sanggup menjadi solusi bagi guru supaya tidak mengalami kesulitan mencari pemanis jam mengajar untuk memenuhi syarat mendapatkan TPG (Indahri, 2017). Tentunya LHS ini merupakan solusi yang baik khususnya bagi guru yang tidak sanggup memenuhi beban kerja minimal yaitu 24 JTM per minggu, menyerupai juga disampaikan oleh Indahri (2017), bahwa guru sanggup dibantu dengan konversi jam dalam pelaksanaan kiprah terkait pendidikan dikala delapan jam berguru per hari di sekolah, salah satu contohnya menjadi Pembina Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Tentang tugas-tugas pemanis dan tugas-tugas pembimbingan guru yang sanggup dikonversi menjadi sejumlah Jam Tatap Muka (JTM) tertentu diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 wacana ekuivalensi kegiatan pembelajaran/pembimbingan bagi guru yang bertugas pada SMP/SMA/SMK yang melaksanakan Kurikulum 2013 pada semester pertama menjadi Kurikulum Tahun 2006 pada semester kedua tahun pelajaran 2014/2015. Sayangnya masa berlaku Permendikbud Nomor 4 tahun 2015 ini telah berakhir, lantaran pada Pasal 4 Permendikbud ini dimuat wacana berakhirnya diberlakukan Permendikbud tersebut. Bunyi Pasal 4 Permendikbud tersebut: Pemenuhan beban mengajar melalui ekuivalensi kegiatan pembelajaran/pembimbingan berlaku hingga dengan 31 Desember 2016. Dengan demikian maka bila LHS mulai diberlakukan maka perlu dihidupkan kembali Permendikbud tersebut, atau ada taktik gres yang ditempuh supaya kegiatan pembelajaran dan pembimbingan guru untuk menyelenggarakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) melalui LHS sanggup diakui menjadi cara bagi guru untuk memenuhi beban kerja minimalnya yaitu 24 JTM per minggu. Ketika Permendikbud tersebut dihapus, tentunya guru harus kembali mencari cara untuk memenuhi beban kerja minimalnya. Salah satu cara yang selama ini ditempuh yaitu dengan mengajar di beberapa sekolah. Berikut ini disajikan data dari Ditjen GTK 2017 yang memperlihatkan bahwa masih banyak guru khususnya PNS yang mengajar pada lebih dari satu sekolah. 

Dari sumber data Sumber data Ditjen GTK 2017, bahwa Provinsi Jawa Timur mempunyai guru SMPPNS yang terbanyak yang mengajar lebih dari satu sekolah yaitu sebanyak 3.209 guru. Sebaliknya, Provinsi Kalimantan Utaramemiliki guru SMPPNS yang paling sedikit mengajar pada lebih dari satu sekolah yaitu hanya 34 guru. Secara nasional terlihat bahwa sebanyak 25.820 guru PNS SMP yang harus mengajar di dua sekolah. Hal ini memperlihatkan bahwa banyak guru kesulitan memenuhi beban kerja minimalnya dengan hanya mangajar di satu sekolah saja. Mereka harus memenuhinya dengan mengajar di lebih dari satu sekolah. Berikut ini disajikan rerata JTM guru SMP per ahad di sekolah induk dan di sekolah lainnya di seluruh provinsi di Indonesia khusus guru yang mengajar di lebih dari satu sekolah.

Rerata JTM guru di sekolah induk bagi guru yang mengajar di dua sekolah yaitu 14,6JTM/ minggu, artinya bahwa banyak guru tidak akanmendapat TPG bila hanya mengajar di sekolah induk saja, lantaran beban kerjanyakurang dari 24 JTM/minggu.Terlihat bahwa Provinsi Kalimantan Utara merupakan provinsi dengan rerata JTM terendah di sekolah induk untuk masalah guru mengajar di dua sekolah yaitu hanya 12,3JTM/minggu, sedangkan Provinsi Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan rerata JTM tertinggi di sekolah induk yaitu sebesar 15,5JTM/minggu. Dengan demikian, guru-guru ini memang harus mengajar di sekolah lain untuk sanggup memenuhi beban kerja minimalnya. Terlihat bahwa rerata JTM guru di sekolah lain untuk masalah guru yang mengajar di dua sekolah yaitu sebesar 12,3 JTM/ minggu, artinya ketika dijumlah dengan rerata JTM per ahad di sekolah induk, maka beban kerja guru-guru ini telah mencapai tuntutan JTM minimal yaitu 24 JTM/minggu (sudah teratasi: mengajar di sekolah lain). Kaprikornus solusi yang banyak digunakan untuk memenuhi beban kerja guru yaitu mengajar di sekolah lain. Hanya saja mengajar di sekolah lain banyak menimbulkan permasalahan juga sebagaimana temuan studi terdahulu.

Studi wacana pemenuhan Beban Kerja Guru tahun 2016 di Puslitjakdibud menemukan bahwa terdapat permasalahan-permasalahan berikut ketika guru harus mengajar pada lebih dari satu sekolah.
a. Harus bersaing dengan guru lainnya yang juga mencari JTM tambahan
b. Harus mengeluarkan biaya ekstra baik tenaga maupun dana untuk mencapai sekolah lain
c. Resiko terjadi kecelakaan cukup tinggi karenaguru harus melaksanakan perjalanan dengan aneka macam hambatannya contohnya harus menyeberang sungai atau laut, mendaki bukit/tanjakan dan sebagainya
d. Berpotensi menimbulkan kelelahan bagi guru lantaran harus melaksanakan perjalanan 
e. Guru kehilangan waktu untuk mempersiapkan pembelajaran keesokan hari
f. Waktu guru untuk mengurus keluarganya juga berkurang terlebih kaitan dengan pendidikan anak-anaknya
g. Guru tidak mempunyai waktu untuk menyebarkan diri contohnya meningkatkan kompetensinya dengan mengikuti kegiatan KKG/MGMP dan sebagainya

Oleh lantaran adanya permasalahan gres ini, maka perlu dilakukan terobosan gres untuk memenuhi beban kerja guru. Berdasarkan uraian di atas dirumuskan permasalahan kajian ini sebagai berikut:“Guru kesulitan memenuhi beban kerja minimalnya berdasarkan regulasi atau peraturan perundang-undangan wacana profesionalisme guru”.

B. Tujuan dan Lingkup Kajian

Berdasarkan rumusan permasalahan penelitian ini maka tujuan umum kajian ini yaitu mencari jalan keluar atau terobosan gres yang sanggup digunakan untuk menciptakan kebijakan pemenuhan beban kerja guru yang bisa meningkatkan profesionalisme guru. Untuk mencapai tujuan umum tersebut maka kajian ini akan melakukan:
  1. Mengidentifikasi rata-rata kekurangan beban kerja guru
  2. Mengetahui kebijakan kawasan dalam memenuhi kekurangan beban kerja guru
  3. Mengetahui taktik sekolah dalam memenuhi kekurangan beban kerja guru
  4. Mengidentifikasi hambatan dalam memenuhi kekurangan beban kerja guru

Mengenai lingkup studi sanggup diuraikan sebagai berikut. Umumnya di SD, guru yang mengajar yaitu guru kelas, kecuali guru Agama dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Guru kelas umumnya tidak mengalami kesulitan dalam memenuhi beban kerja minimalnya. Guru yang umumnya mengalami kesulitan memenuhi beban kerja guru yaitu guru Mapel, yaitu guru yang mengajar di SMP, Sekolah Menengan Atas dan SMK. Dengan demikian maka fokus kajian ini mengkaji bagaimana guru SMP dan SMA/SMK sanggup memenuhi beban kerja minimalnya. Namun, dengan pertimbangan ketersediaan sumber daya yang dimiliki studi, kemudian adanya kemiripan permasalahan yang dihadapi guru Mapel baik di SMP maupun di SMA/SMK, maka lingkup kajian ini hanya difokuskan khusus pada satuan pendidikan SMP. 


BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Beban kerja Guru

Undang-Undang (UU)Nomor 14 Tahun 2005 secara tidak eksklusif telah mengatur beban kerja guru, tetapi masih diharapkan klarifikasi yang lebih rinci tentang formulasi perhitungan beban kerja guru dengan mempertimbangkan beberapa kiprah guru di sekolah selain kiprah utamanya sebagai pendidik dan item-item apa saja yang bisa dihitung. Untuk itulah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008 wacana Guru, pada potongan IV pasal 52 ayat (1) tertulis beban kerja guru meliputi kegiatan pokok: a) merencanakan pembelajaran; b) melaksanakan pembelajaran; c) menilai hasil pembelajaran; d) membimbing dan melatih peserta didik, dan e) melaksanakan kiprah pemanis yang menempel pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai dengan beban kerja Guru.

PP Nomor 74 Tahun 2008 telah diperbaharui menjadi PP Nomor 19 Tahun 2017 dimana terjadi sedikit perubahan pada Pasal 52 ayat (1) aksara a, aksara b, dan aksara c,serta ayat (3) sebagai berikut. Beban kerja Guru meliputi kegiatan pokok: a) merencanakan pembelajaran atau pembimbingan; b) melaksanakan pembelajaran atau pembimbingan; c) menilai hasil pembelajaran atau pembimbingan; d) membimbing dan melatih peserta didik; dan e) melaksanakan kiprah pemanis yang menempel pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai dengan beban kerja Guru. Beban kerja Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) aksara b) paling sedikit memenuhi 24 (dua puluh empat) Jam Tatap Muka (JTM) dan paling banyak 40 (empat puluh) JTM dalam 1 (satu) minggu. Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

B. Perhitungan Beban Kerja Guru

Kamdi (2014) memberikan bahwa kiprah guru selain untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, dan/ atau melatih minimal 24 (dua puluh empat) JTM seminggu,beban kerja guru yang lainnya yaitu melaksanakan kiprah lain menyerupai melaksanakan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan. Kegiatan tersebut terdiri atas kegiatan yang berkaitan dengan: (i) pengembangan diri, (ii) publikasi ilmiah, dan (iii) pengembangan pembelajaran inovatif. Kamdi (2014) beropini bahwa deskripsi kiprah guru muncul menjadi beban kerja ketika telah dinyatakan dengan satuan waktu.

Studi beban kerja guru yang diukur berdasarkan penggunaan waktu dalam menjalankan kiprah guru yang dilakukan oleh Kamdi, dkk.(2009), sebagaimana diutarakan dalam Kamdi (2014). Penelitian tersebut mengungkap antara lain waktu yang digunakan guru dalam aneka macam macam kegiatan kependidikan, baik selama jam mengajar di sekolah maupun di luar jam sekolah, mulai hari Senin hingga dengan Minggu. Penelitian tersebut menemukan bahwa rerata jumlah waktu yang digunakan untuk melaksanakan pembelajaran paling tinggi, yakni 801,6 menit (13,36 jam) per minggu.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah: beban berguru kegiatan tatap muka di SMP dinyatakan dalam jumlah jam pelajaran per minggu, dengan durasi setiap satu jam pelajaran yaitu 40 (empat puluh) menit. Dengan demikian, maka tuntutan minimal beban kerja guru 24 jam tatap muka hanya setara dengan 24*40 = 960 menit (16 jam) per minggu. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Kamdi dkk. (2009)dalam Kamdi (2014) bahwa rerata jumlah waktu yang digunakan untuk melaksanakan pembelajaran yaitu 801,6 menit (13,36 jam) per ahad maka faktanya jam tatap muka guru masih lebih rendah daripada tuntutan peraturan perundang-undangan, lantaran pada kenyataannya JTM yang diperhitungkan supaya guru diakui memenuhi beban kerja minimalnya yaitu mengajar di depan kelas minimal 24 JTM/ minggu. Hal ini memperlihatkan bahwa banyak guru kesulitan memenuhi beban kerja minimalnya.

Penelitian Kamdi dkk.(2009)dalam Kamdi (2014) juga menemukan bahwa kegiatan merencanakan pembelajaran membutuhkan rerata 220,5 menit per minggu. Rerata jumlah waktu yang dibutuhkan untuk merencanakan ini sedikit lebih kecil daripada rerata waktu yang dibutuhkan untuk menilai hasil berguru yang besarnya 247,9 menit per minggu. Sayangnya dua kiprah utama guru ini tidak secara eksplisit diperhitungkan dalam beban kerja minimal untuk sanggup mendapatkan TPG. Padahal, bila tiga kegiatan utama mengajar ini disatukan, didapat rerata jumlah waktu sebesar 801,6 + 220,5 + 247,9 = 1.270 menit atau 21,2 jam per minggu, artinya sudah lebih besar dari tuntutan beban kerja minimal yang hanya 24*40 menit = 960 menit (atau setara 16 JTM) per minggu.

C. Jam Tatap Muka Guru SMP Menurut Kurikulum 2013 (K-13)

Guru SMP yaitu guru mata pelajaran sehingga jam kerja guru di SMP sangat tergantung pada mata pelajaran yang diampu dan durasi jam pelajaran. 

D. Beban Kerja Guru di Negara Lain

Kamdi (2014) mengungkapkan beban kerja guru di Afrika Selatan yang yaitu hasil kajian dari Chisholm, et al. (2005). Penelitian tersebut memaparkan waktu aktual yang dilakukan guru dalam aneka macam kegiatan pembelajaran/pendidikan, dan dibandingkan dengan kebijakan nasional wacana beban kerja guru. Di Afrika Selatan, guru diwajibkan bekerja selama 43 jam seminggu, dari Senin hingga Jumat (hari Sabtu dan Minggu libur), atau rerata 8,6 jam sehari. Guru diharapkan memakai 85% dari waktu kerjanya untuk pelaksanaan mengajar, sedangkan sisanya untuk kegiatan menyiapkan pembelajaran, mengevaluasi, kegiatan administratif sekolah, kegiatan bimbingan siswa, dan lainnya. Penelitian tersebut menyimpulkan, pada umumnya, para guru hanya memakai waktu kerja 41 jam per ahad dari 43 jam per ahad yang diharapkan pemerintah. Proporsi penggunaan waktu kerja tersebut adalah: 41% pada kegiatan mengajar, 14% menyiapkan pembelajaran, 14% evaluasi, 12% kegiatan ekstrakurikuler, 7% kegiatan administratif sekolah. Hal itu berarti hanya sekitar 16 jam per ahad digunakan guru untuk mengajar tatap muka di kelas. Angka ini kurang lebih sama dengan tuntutan beban kerja minimal guru di Indonesia dengan mengajar tatap muka dengan siswa yaitu sebesar 24*40 menit = 960 menit (atau setara 16 JTM) per minggu.

E. Cara Pemenuhan Beban kerja Guru

Sudarsono (2015) menyampaikan bahwa terpenuhi atau tidaknya beban kerja guru pada suatu sekolah sanggup dilihat dari daftar kebutuhan guru yang terdapat pada laporan bulanan. Sekolah dengan jumlah guru berlebihan akan menjadikan guru yang tidak sanggup memenuhi kewajiban mengajarnya, harus menambah jam mengajar disekolah lain. Sedangkan sekolah yang jumlah gurunya kurang, akan menjadikan beban mengajar guru semakin berat, sehingga akhir dari semua itu pembelajaran yang dilaksanakan menjadi tidak efektif. Disampaikan Sudarsono (2015) bahwa hingga dikala ini, belum semua guru sanggup melaksanakan kiprah ideal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku yaitu mempunyai beban mengajar paling sedikit 24 JTM per minggu. Perihal tersebut terjadi lantaran jumlah guru yang berlebihan atau lokasi sekolah yang berada di kawasan pinggiran yang dikenal dengan 3T (terpencil, terluar, terisolasi) yang terkadang tidak mempunyai banyak Rombel.

Sudarsono (2015) juga mengungkapkan bahwa guru yang belum memenuhi beban mengajar minimal harus berusaha untuk memenuhinya dengan cara mengajar pada sekolah lain sehingga kiprah yang menjadi tanggung jawabnya menjadi terabaikan lantaran hanya mengejar sasaran yaitu beban mengajar minimal 24 JTM per minggu. Guru yang beban mengajarnya kurang dari 24 JTM perminggu harus bolak-balik dari sekolah satu ke sekolah lain.

Sinaga (2016) menemukan pula bahwa untuk memenuhi beban kerja minimal 24 (dua puluh empat) JTM dalam seminggu bagi sebagian guru bukanlah masalah yang mudah. Sebab untuk mendapatkan beban kerja tersebut sangat tergantung kepada beberapa hal yaitu: i) contohnya jumlah rombongan berguru yang terdapat pada satu sekolah; ii) jumlah guru mata pelajaran yang sama yang terdapat pada satu sekolah; iii) dan bobot alokasi waktu atau jam pelajaran (les) yang tersedia untuk setiap mata pelajaran.

Selanjutnya dikatakan Sinaga (2016) bahwa sekalipun ada ketimpangan dalam penerapan beban kerja guru, namun dalam PP Republik Indonesia (RI) Nomor 74 Tahun 2008 wacana guru pada Pasal 65 ayat 2 menjelaskan bahwa guru yang tidak sanggup memenuhi kewajiban melaksanakan pembelajaran 24 (dua puluh empat) JTM per ahad dan tidak menerima pengecualian dari menteri, dihilangkan haknya untuk menerima TPG. Hal ini disebut Sinaga (2016) menjadi sangat fenomenal bagi guru, untuk itu perlu disikapi dengan arif.

Pemerintah menyadari bahwa tolong-menolong memang sulit bagi sebagian guru untuk mendapatkan beban kerja guru minimal 24 (dua puluh empat) JTM perminggu. Oleh lantaran itu pemerintah memberi alternatif jalan keluar menyerupai mengeluarkan aneka macam peraturan yaitu: i) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) RI Nomor 36 Tahun 2007 wacana penyaluran Tunjangan Profesi Bagi Guru; ii) PermendiknasRI Nomor 18 Tahun 2007 Tentang sertifikasi bagi guru dalam jabatan; iii) Permendiknas RI Nomor 11 tahun 2008 wacana perubahan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 18 tahun 2007 wacana sertifikasi guru dalam jabatan; iv) PP RI Nomor 74 tahun 2008 wacana guru; v) Pedoman penghitungan beban kerja guru yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) tahun 2008; vi) PermendiknasRI Nomor 39 tahun 2009 Tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru Dan Pengawas Satuan Pendidikan; vii) Permendiknas RI Nomor 35 Tahun 2010 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru Dan Angka Kreditnya, (viii)PermendiknasRI 30 Tahun 2011 Tentang Perubahan PermendiknasRI Nomor 39 Tahun 2009, (ix)Permendikbud RI Nomor 4 Tahun 2015 wacana Ekuivalensi Kegiatan Pembelajaran (x) Permendikbud RI Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Tunjangan Profesi Dan Tambahan Penghasilan Bagi Guru PNSD, (xi) PP RI Nomor 19 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas PP RI Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru, (xii) Permendikbud RI Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Tunjangan Profesi.

Intisari dari peraturan-peraturan tersebut yaitu bahwa guru sanggup memenuhi tuntutan beban kerja minimalnya dengan dua cara yaitu (i) mengerjakan kiprah pemanis yang mana kiprah pemanis tersebut diakui setara dengan sejumlah JTM tertentu atau (ii) dengan mengajar di sekolah lain. Sayangnya tugas-tugas pemanis yang diakui setara atau ekuivalen dengan sejumlah JTM tertentu jumlahnya sangat terbatas. Dengan demikian maka solusi pertama ini tidak banyak menuntaskan problem pemenuhan beban kerja guru. Guru kemudiandiberikan pilihan alternatif lain untuk memenuhi beban kerja minimalnya dengan mengajar di sekolah lain(Permendiknas RI Nomor 39 Tahun 2009 pasal 5 ayat 1a). Pasal ini mengijinkan guru mengajar pada satuan pendidikan formal yang bukan satuan manajemen pangkalnya, baik sekolah swasta maupun sekolah negeri dengan ketentuan guru tersebut harus melaksanakan kiprah mengajar di satuan pendidikan manajemen pangkalnya paling sedikit 6 (enam) jam tatap muka. Sinaga (2016) memberikan bahwa mengikuti petunjuk ini pun tolong-menolong banyak persoalan, alasannya yaitu sekolah negeri dan swasta ditempat lain pun kekurangan jam mengajar. Ketika guru harus mengajar pada dua sekolah atau lebih maka ia harus tunduk pada aturan-aturan yang berlaku pada sejumlah sekolah sebagai tempatnya mengajar. Dikatakan Sinaga (2016) bahwa Guru dalam menjalankan tugasnya di beberapa sekolah sekaligus sering kali harus berhadapan dengan tarik menarik kepentingan antara sekolah yang satu dengan sekolah lainnya. Tak ada satu sekolah pun yang mau di nomorduakan.

Oleh lantaran solusi pemenuhan beban kerja guru yang ada dikala ini tidak menuntaskan permasalahan secara tuntas maka Pemerintah berusaha mencari alternatif solusi lainnya dan solusi yang sempat ditawarkan yaitu Kebijakan wacana Lima Hari Sekolah (LHS). Indahri (2017) memberikan bahwa kebijakan pemerintahan Jokowi/JK di bidang pendidikan dituangkan dalam nawacita dengan aktivitas strategisnya menata kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan pendidikan karakter.Agenda ini dijadikan Kemendikbud sebagai salah satu dasar disusunnya kebijakan LHS, lantaran pendidikan karakter di kalangan siswa, terutama siswa pendidikan dasar, menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Selain itu disebutkannya pula bahwa ada tuntutan global supaya pendidikan di sekolah sanggup menumbuhkan karakter siswa supaya sanggup berpikir kritis, kreatif, bisa berkomunikasi, dan berkolaborasi, supaya sanggup bersaing di masa ke-21. Hal itu sesuai dengan empat kompetensi yangharus dimiliki siswa yang disebut 4C, yaitu critical thinking and problem solving (berpikir kritis dan menuntaskan masalah), creativity (kreativitas), communication skills (kemampuan berkomunikasi), dan abilityto work collaboratively (kemampuan untukbekerja sama).

Sejalan dengan Indahri (2017), Anggiet (2017) mengemukan bahwa terdapat paling tidak ada lima alasan/tujuan Kemendikbud begitu bersemangat untuk menerapkan kebijakan LHS di sekolah-sekolah yaitu:
  1. Agar sekolah punya waktu lebih untuk meningkatkan religiusitas: sesuai dengan sila pertama Pancasila, setiap siswa diharapkan bisa mencerminkan keberimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Meningkatkan nasionalisme: banyak orang beropini bahwa generasi kini kurang nasionalismenya. Melalui LHS pemerintah ingin menanamkan perilaku nasionalis dalam diri calon penerus bangsa. Intinya siswa supaya sanggup menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
  3. Menumbuhkembangkan perilaku gotong royong bersama masyarakat khususnya di selesai pekan: Sebagaimana yang didengungkan oleh presiden pertama kita Bapak Ir. Soekarno yang menegaskan kalau bangsa kita itu dibangun atas dasar gotong royong antarmasyarakat yang beragam, maka Presiden Jokowi pun sering menekankan bahwa semua elemen bangsa harus gotong royong.
  4. Meningkatkan integritas diri: integritas yaitu mutu, sifat, atau keadaan yang memperlihatkan kesatuan yang utuh sehingga mempunyai potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Dalam hal ini siswa diharapkan menjadi orang yang selalu dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
  5. Biar mandiri: artinya tidak bergantung kepada orang lain dan mempergunakan tenaga,pikiran,waktu untuk merealisasikan harapan,mimpi dan cita-cita.

Kaprikornus LHS memperlihatkan banyak manfaat baik bagi guru maupun bagi siswa. Bagi guru, manfaat LHS supaya guru-guru yang tidak sanggup memenuhi beban kerja minimalnya yaitu 24 JTM per ahad sanggup memenuhinya; sedangkan bagi siswa: dengan LHS akan sanggup dilaksanakan aktivitas PPK. Dengan demikian, kebijakan LHS sanggup menjadi langkah yang sempurna untuk revolusi mental di lingkup pendidikan. Karena tujuan dan manfaat yang sangat mulia dari kebijakan LHS ini maka Kemendikbud menerbitkan Permendikbud RI Nomor 23 Tahun 2017 supaya sekolah-sekolah mempunyai dasar aturan untuk melaksanakan LHS. Hanya saja lantaran kurangnya sosialisasi wacana LHS maka LHS dianggap menimbulkan kegaduhan/ polemik di dalam masyarakat sebagaimana disampaikan oleh Indahri (2017).Dikatakan bahwa dewan perwakilan rakyat RI melalui Komisi X sangat mendorong dan mendukung semua kebijakan pemerintah yang berupaya untuk memajukan pendidikan nasional.Tetapi khusus untuk pengaturan hari sekolah, perlu diadakan kajian, evaluasi, serta santunan waktu yang cukup untuk sosialisasi.Kondisi sosiologis masyarakat Indonesia yang sangat bermacam-macam harus selalu menjadi pertimbangan sehingga sanggup menghapus kesan kurang pekanya Pemerintah terhadap aspirasi masyarakat di aneka macam daerah.Disampaikannya bahwa tercatat hanya kurang dari satu persen sekolah atau satuan pendidikan di seluruh Indonesia yang siap menyelenggarakan LHS dan tidak hingga satu persen tenaga pendidik yang telah mendapatkan training PPK tentunya memperkuat alasan tidak perlu diformalkannya pengaturan hari sekolah dalam bentuk Permendikbud.

Permendikbud RI Nomor 23 Tahun 2017 jadinya gugur dengan sendirinya sebagai dasar aturan pelaksanaan LHS sesudah terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) RI Nomor 87 Tahun 2017 wacana Penguatan Pendidikan Karakter, dimana dikatakan dalam Pasal 17 bahwa pada dikala Perpresini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hari sekolah dan pendidikan karakter yang bertentangan dengan Perpresini dinyatakan tidak berlaku.

Meskipun Permendikbud RI Nomor 23 tahun 2017 sudah tidak berlaku lagi, namun dalam Perpres RI Nomor 87 tahun 2017 dikatakan bahwa penyelenggaraan aktivitas PPK di sekolah terus sanggup dilaksanakan tergantung kesiapan sekolah dan boleh dilakukan melalui LHS atau enam hari sekolah dalam seminggu. Dasar aturan penyelengaraan PPK ini tertera pada Pasal 6ayat (1) yang berbunyi: penyelenggaraan PPK pada satuan pendidikan jalur pendidikan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 aksara a angka 1 yaitu PPK pada satuan pendidikan jalur pendidikan formal, dilakukan secara terintegrasi dalam kegiatan: (i) intrakurikuler; (ii) kokurikuler; dan (iii) ekstrakurikuler. Selanjutnya bahwa PPK sanggup dilaksanakan melalui LHS atau enam hari sekolah sesuai kesiapan sekolah ditetapkan pada Pasal 9 yang berbunyi: Penyelenggaraan PPK pada satuan pendidikan jalur pendidikan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilaksanakan selama 6 (enam) atau 5 (lima) hari sekolah dalam 1 (satu) minggu.Bahwa PPK sanggup diselenggarakan dalam waktu lima atau enam hari sekolah dalam sepekan tergantung kepada kesiapan sekolah, himbauan ini disampaikan pula oleh Indahri (2017) yang beropini bahwa LHS memang seharusnya hanya menjadi pilihan dan tidak diwajibkan untuk dilaksanakan oleh seluruh sekolah, artinya LHS sanggup dilaksanakan apabila sumber daya dan lingkungan sekolah mendukung. Dalam Perpres RI Nomor 87 tahun 2017 Pasal 9 ayat (3) disebutkan bahwa dalam memutuskan penerapan 5 (lima) hari sekolah satuan pendidikan harus mempertimbangkan: (i) kecukupan pendidik dan tenaga kependidikan; (ii) ketersediaan sarana dan prasarana; (iii) kearifan lokal; dan (iv) pendapat tokoh masyarakat dan/atau tokoh agama di luar Komite Sekolah/Madrasah.

Meskipun dalam pasal 17 Perpres RI Nomor 87 Tahun 2017 secara tegas dikatakan bahwa pada dikala Perpresini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hari sekolah dan pendidikan karakter yang bertentangan dengan Perpresini dinyatakan tidak berlaku, namun dari uraian di atas terlihat bahwa pasal-pasal tertentu dalam Permendikbud RI Nomor 23 tahun 2017 yang tidak bertentangan dengan Perpres RI Nomor 87 Tahun 2017 masih berlaku dan sanggup diterapkan. Apalagi dalam Pasal 16Perpres RI Nomor 87 Tahun 2017dikatakan bahwa Satuan Pendidikan yang belum melaksanakan PPK atau yang sudah melaksanakan PPK namun belum sesuai dengan Perpres ini, dalam jangka waktu paling usang 2 (dua) tahun harus menyesuaikan dengan Perpresini. Satuan Pendidikan Formal yang telah melaksanakan PPK melalui 5 (lima) hari sekolah yang telah ada sebelum berlakunya Perpresini masih tetap sanggup berlangsung.

Dengan demikian, maka kebijakan wacana LHS masih tetap sanggup dilaksanakan dan faktanya memang banyak sekolah menerapkan LHS. Khusus untuk SMP berdasarkan SK Direktur Pembinaan SMP (Dir. PSMP) telah ditetapkan sebanyak 271 SMP di seluruh Indonesia yang menjadi sekolah percontohan melaksanakan aktivitas Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) Tahun 2016. Sekolah-sekolah ini ditetapkan menyelenggarakan PPK yang dilaksanakan melalui LHS. Meskipun telah terjadi perubahan sesudah terbitnya Perpres RI Nomor 87 tetang PPK namun niscaya banyak sekolah penyelenggara PPK tetap melaksanakannya melalui LHS, lantaran Pasal 9 Perpres tersebut yang membolehkannya yaitu bahwa penyelenggaraan PPK pada Satuan Pendidikan jalur Pendidikan Formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilaksanakan selama 6 (enam) atau 5 (lima) hari sekolah dalam 1 (satu) minggu.

Sebelumnya telah diutarakan bahwa LHS sanggup menjadi solusi bagi guru untuk memenuhi beban kerja minimal guru yaitu 24 JTM per minggu. Jika sekolah menerapkan LHS yang menjadi pertanyaan bagaimana sekolah memenuhi beban kerja minimal gurunya, lantaran Permendikbud Nomor 4 Tahun 2015 wacana kegiatan ekuivalensi sudah tidak berlaku lagi, kemudian Permendikbud Nomor 17Tahun 2016 juga tidak secara terang mengatur wacana kegiatan ekuivalensi. Apakah solusinya guru tetap diarahkan untuk mengajar di lebih dari satu sekolah sebagaimana yang terjadi selama ini?Selama ini guru memang diarahkan untuk mengajar di dua sekolah untuk memenuhi beban kerja minimalnya.Solusi ini diambil lantaran pada kenyataannya banyak guru mengajar di lebih dari satu sekolah. Dari data tersebut dikalkulasi bahwa rerata JTM guru di sekolah induk memang kurang dari 24 JTM per minggu.

Dengan diterapkan aktivitas LHS, namun aktivitas LHS sendiri belum mengakomodasi pemenuhan beban kerja guru meski mereka sudah bekerja kurang lebih 40 JTM/minggu, lantas bagaimana taktik yang ditempuh sekolah supaya guru yang sudah mempunyai sertifikat pendidik tetap menerima kesempatan memperoleh TPG? Tentu taktik pertama yang ditempuh yaitu memperlihatkan kiprah pemanis kepada guru. Tugas pemanis yang sudah usang diakui setara dengan sejumlah JTM tertentu yaitu kiprah pemanis sebagaimana tertera dalam PP RI Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru Pasal 54 yaitu: (i) sebagai Wakil kepala satuan pendidikan setara 12 JTM/minggu, (ii) sebagai Ketua aktivitas keahlian satuan pendidikan setara 12 JTM/minggu, (iii) sebagai kepala perpustakaan satuan pendidikan setara 12 JTM/minggu dan (iv) sebagai kepala laboratorium, kepala bengkel, atau ketua unit produksi satuan pendidikan juga setara 12 JTM/minggu. Strategi lain yang ditempuh dan cukup banyak dilakukan yaitu dengan mengajar di dua sekolah, namun tentunya taktik ini sulit untuk diterapkan lantaran guru harus hadir delapan jam per hari di sekolah induk.Pada kenyataannya banyak guru memang mengajar di lebih dari satu sekolah sebagaimana disajikan dalam Tabel 1.1 wacana jumlah guru PNS (TK-SM) yang mengajar di lebih dari satu sekolah.

Strategi lain yang ditempuh guru dalam memenuhi beban kerja minimal 24 JTM per ahad yaitu dengan melaksanakan pembelajaran/pembimbingan yang diakui ekuivalen dengan sejumlah JTM tertentu sebagaimana diungkapkan sebelumnya dan termuat dalam Permendikbud RI Nomor 4 tahun 2015, namun sayang sekali masa berlaku permendikbud tersebut sudah berakhir, sehingga secara otomatis kiprah pembelajaran/ pembimbingan ini tidak diakui lagi setara dengan sejumlah JTM tertentu.

Setelah berakhir masa berlakunya Permendikbud RI Nomor 4 Tahun 2015, telah diterbitkan lagi Permendikbud RI Nomor 17 Tahun 2016 wacana Petunjuk Teknis Penyaluran Tunjangan Profesi dan Tambahan Penghasilan Bagi Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah, namun Permendikbud tersebut juga tidak secara terang menjadi pengganti Permendikbud RI Nomor 4 tahun 2015, meski dalam Permendikbud yang terakhir ini ditetapkan ada kiprah pembelajaran/pembimbingan gres yang sanggup disetarakan dengan sejumlah JTM tertentu, namun tidak sama persis dengan Permendikbud RI Nomor 4 Tahun 2015.

Dalam Permendikbud RI Nomor 17 Tahun 2016 disebutkan kiprah pemanis guru yang lain yang sanggup disetarakan dengan sejumlah JTM tertentu antara lain:
  1. Menjadi narasumber nasional atau pelatih nasional atau tim pengembang atau mentor untuk guru pembelajar atau pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) kurikulum, diakui setara dengan 12 JTM per minggu. Tugas pemanis guru ini merupakan kiprah pemanis yang baru.
  2. Bertugas sebagai guru pada sekolah kecil (unit sekolah gres yang memenuhi persyaratan pendirian sekolah gres dengan jangka waktu yang dipersyaratkan), sekolah terbuka dan sekolah terintegrasi (sesuai dengan persyaratan pendirian sekolah terbuka dan sekolah terintegrasi) serta sekolah darurat yang tidak berada di kawasan khusus, yang diusulkan oleh Pemda atau Dinas Pendidikan Provinsi atau Kabupaten/Kota dan ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), supaya TPG- nya tetap dibayarkan, guru tersebut harus melaksanakan kegiatan ekuivalensi sebagai berikut: (i) mengajar mata pelajaran yang sama atau mata pelajaran lain; (ii) menjadi tutor Paket A, B,C, C Kejuruan atau aktivitas pendidikan kesetaraan; (iii) menjadi guru bina pada sekolah terbuka; (iv) menjadi guru pamong pada sekolah terbuka; (v) membina kegiatan ekstrakurikuler wajib Pramuka; (vi) melaksanakan pembelajaran perbaikan (remedial teaching); (vii) mengelola Taman Bacaan Masyarakat (TBM) milik pribadi, atau milik masyarakat; (viii) menjadi pengelola kegiatan keagamaan; (ix) mengelola Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) mandiri; (x) menjadi guru inti atau pelatih atau pemandu pada kegiatan MGMP; (xi) membina kegiatan berdikari terstruktur bagi peserta didik; (xii) membina kegiatan lain yang terkait dengan pendidikan masyarakat, contohnya kursus kecantikan, memasak, memotong rambut, menjahit, dan sebagainya. Bukti dokumen atau pemberkasan sebagaimana dimaksud di atas diverifikasi oleh Pemerintah atau Dinas Pendidikan Provinsi atau Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya. Untuk kiprah pemanis ini tidak disebutkan secara tegas penyetaraannya dengan sejumlah JTM tertentu sehingga bisa menimbulkan multi tafsir dan kurang operasional.
  3. Bagi satuan pendidikan jenjang SMP, SMA/SMK yang memakai Kurikulum 2013 sanggup menambah beban berguru per ahad sesuai dengan kebutuhan berguru peserta didik dan/atau kebutuhan akademik, sosial, budaya, dan faktor lain yang dianggap penting di dalam struktur program, namun yang diperhitungkan Pemerintah maksimal dua JTM/minggu. Tugas pemanis yang terakhir ini tidak disebutkan secara terang sebagaimana yang ditetapkan dalam Permendikbud Nomor 4 Tahun 2015 pola menjadi wali kelas setara dengan dua JTM/minggu dan sebagainya.

Dari uraian di atas sanggup dikatakan bahwa aktivitas LHS tetap berjalan dan kelak akan dijalankan oleh semua sekolah. Namun sebagaimana disampaikan oleh Indahri (2017), Program LHS tidak bisa diterapkan secara serempak di semua sekolah lantaran masih kurangnya sosialisasi. Diperlukan adanya kajian/evaluasi, terhadap kebijakan LHS yang hasilnya sanggup digunakan untuk melaksanakan sosialisasi yang intensif supaya semua lapisan masyarakat sanggup mendapatkan dan mendukung aktivitas LHS lantaran berdasarkan Indahri (2017) dewan perwakilan rakyat RI melalui Komisi X sangat mendorong dan mendukung semua kebijakan pemerintah yang berupaya untuk memajukan pendidikan nasional. Tetapi khusus untuk pengaturan hari sekolah, perlu ada kajian/evaluasi, serta santunan waktu yang cukup untuk sosialisasi, lantaran kondisi sosiologis masyarakat Indonesia yang sangat bermacam-macam harus selalu menjadi pertimbangan sehingga sanggup menghapus kesan kurang pekanya Pemerintah terhadap aspirasi masyarakat di aneka macam daerah.Untuk itu perlu dilakukan kajian/evaluasi untuk memperlihatkan masukan dalam meningkatkan implementasi LHS di masa yang akan datang.

Dengan planning implementasi LHS, guru dilarang lagi mengajar pada lebih dari satu sekolah. Padahal dari data dalam Tabel 1.1 terlihat bahwa terdapat banyak guru yaitu sebanyak 66.669 guru PNS (TK-SM) yang pada dikala ini masih mengajar di dua sekolah. Hal ini berdampak pada dua hal berikut: 
  1. Terjadi kekurangan guru di sekolah yang ditinggalkan guru lantaran guru kembali ke sekolah induk (sekolah dimana guru menerima SK untuk bertugas sebagai guru).Penjelasannya sebagai berikut. Ada seorang ibu guru Matematika yang berjulukan Fatimah. Dia sudah disertifikasi. Untuk menerima TPG Ibu Fatimah harus mengajar Matematika di dua sekolah. Di sekolah induknya yaitu SMP Negeri 2 Meulaboh Ibu Fatimah mengajar sebanyak 18 JTM, sedangkan di SMP lainnya yaitu SMP Melulaboh 3 ia mengajar 16 JTM. Ketika diterapkan LHS maka Ibu Fatimah hanya bisa mengajar di SMP induk saja. Dengan demikian, Ibu Fatimah tidak bisa mengajar lagi di SMP 3 Meulaboh. Ternyata di SMP 3 Meulaboh guru Matematika tinggal satu orang saja yaitu Pak Rian yang jumlah JTM-nya sudah mencapai 30 JTM, maka di SMP Negeri Meulaboh 3 terjadi kekurangan guru. JTM yang ditinggalkan Ibu Fatimah hanya bisa diambil alih oleh Pak Rian maksimal sebanyak 10 JTM lantaran Pak Rian sudah mengajar 30 JTM (tercapai beban kerja maksimal bagi guru yaitu 40 JTM/Minggu). Sisanya masih ada 6 JTM. Sisa 6 JTM ini harus diajarkan oleh guru yang lain.
  2. Guru yang kembali ke sekolah induk, khususnya yang sudah mempunyai sertifikat pendidik, harus sanggup memenuhi persyaratan mengajar minimal 24 JTM di sekolah induk supaya tetap menerima kesempatan mendapatkan TPG. Dari pola pada nomor 1 di atas Ibu Fatimah harus melaksanakan kegiatan pembelajaran/pembimbingan yang diekuivalensikan dalam JTM sebanyak 6 JTM lagi supaya Ibu Fatimah tetap menerima kesempatan mendapatkan TPG. Yang menjadi pertanyaan yaitu apakah tersedia cukup kegiatan pembelajaran/ pembimbingan yang sanggup diekuivalensikan dalam JTM di SMP Negeri 2 Meulaboh untuk Ibu Fatimah.

    Download Buku Kajian Pemenuhan Beban Kerja Guru

    Selengkapnya mengenai susunan dan isi berkas Buku Kajian Pemenuhan Beban Kerja Guru ini silahkan lihat dan unduh pada link di bawah ini:

    Buku Kajian Pemenuhan Beban Kerja Guru



    Download File:
    Download Buku Pemenuhan Beban Kerja Guru.pdf

    Demikian yang bisa kami sampaikan mengenai keterangan berkas dan share file Buku Pemenuhan Beban Kerja Guru. Semoga bisa bermanfaat.

    0 Response to "Buku Muatan Hots Pada Pembelajaran Kurikulum 2013 Pendidikan Dasar"

    Post a Comment

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel